Historiografi Indonesia Masa Revolusi

Historiografi pada masa revolusi terdapat banyak sekali tulisan-tulisan yang berkembang dan ditulis oleh sejarawan-sejarawan nasional pada masa itu. Penulisan-penulisan tersebut dilakukan, salah satunya ialah untuk meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat Indonesia yang saat itu sedang menginjak masa-masa kebebasan dari belenggu penjajajah. Sehingga tidak aneh jika pada historiografi Indonesia masa revolusi begitu banyak penulisan tentang pahlawan-pahlawan dan tokoh-tokoh nasional. Tokoh-tokoh nasional ini dijadikan simbol nasionalisme dan identitas bangsa.

Penulisan pada masa revolusi ini merupakan historiografi peralihan dari historiografi tradisional ke historiografi modern. Pada historiografi masa revolusi ini penulisannya sudah bukan lagi berbicara tentang mitos-mitos dan religius, akan tetapi sudah mulai memasuki babakan penulisan ke arah penulisan modern. Peralihan historiografi ini menunjukkkan bahwa dari bangsa Indonesia sendiri memiliki orang-orang yang mau menulis peristiwa sejarah yang benar sesuai fakta.

A. CIRI-CIRI HISTORIOGRAFI MASA REVOLUSI
Dalam setiap perkembangannya Historiografi di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri baik dalam tulisan maupun tata cara penulisannya, begitu juga yang terjadi dalam penulisan sejarah pasca revolusi. Menurut Sartono Kartodirjo dalam bukunya Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia (1982:23. Literatur sejarah sejak Proklamasi mengalami “booming period”, hal yang belum pernah terjadi dalam sejarah historiografi Indonesia.

Historiografi pada masa revolusi memiliki banyak ciri yang membedakannya dengan historiografi pada masa sebelumnya maupun sesesudahnya. Adapun ciri historiografi pada masa revolusi ialah sebagai berikut:
  1. Penulisannya bersifat Indonesiasentris bukan Eropasentris.
  2. Banyak biografi dari tokoh maupun pahlawan nasional yang diterbitkan, seperti Teuku umar, Imam Bonjol, Patimura, Diponegoro, dan masih banyak lainnya.
  3. Tulisan merupakan ekspresi dalam semangat nasionalistis yang berkobar-kobar dalam periode post revolusi.
  4. Tokoh-tokoh nasional menjadi simbol kenasionalan serta menjadi indentitas bangsa yang menghilang pada masa kolonial. (Kartodirjo, 1982:23)


Jenis penulisan-penulisan pada masa revolusi perlu kita hargai dalam hubungannya dengan fungsi sosio-politik, yaitu untuk membangkitkan rasa nasionalisme pada masa itu.

Sementara menurut Danar Widayanto mengatakan bahwa ciri-ciri historiografi pada masa revolusi ialah:
  1. Dalam penulisannya telah menggunakan metodolog yang bener
  2. Hasil tulisan sejarahnya runtut.maksudnya tidak hanya menceritakan alur cerita yang panjang lebar tapi menuliskan sebab-akibat dari suatu peristiwa sesuai dengan fakta yang ada.

a.h. nasution
Gambar: A.H. Nasution



B. KARYA-KARYA PENULISAN MASA REVOLUSI
Pada masa revolusi muncul karangan yang menunjukkan betapa ciri-ciri nasionalisme mendominasi karangan pada masa itu (Kartodirjo, 1982: 23). Karangan-karangan yang ada pada masa revolusi diantaranya sebagai berikut:

1. Nasution “Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia”













2. Nasution “Pokok-Pokok Perang Gerilya”
















3. Mohammad Yamin “6000 Tahun Sang Merah Putih”
















4. Mohammad Yamin “Gajah Mada”
















5. Mohammad Yamin “Diponegoro”


















C. PENGARUH HISTORIOGRAFI MASA REVOLUSI TERHADAP HISTORIOGRAFI MODERN INDONESIA
Sejak tercapainya kemerdekaan Indonesia, Sejarah Nasional menjadi keperluan yang sangat penting terutama dalam bidang pendidikan karena Sejarah Nasional memegang peranan penting dalam menggalang kesadaran nasional kepada pelajar (Kartodirjo, 1982: 29). Historiografi kolonial tidak relevan lagi dengan cerita tentang masa lampau bangsa Indonesia, maka pemikiran baik sebelum maupun sesudah Seminar Sejarah Nasional pertama di Yogyakarta pada akhir tahun 1957 telah brhasil menerobos kerangka kolonial dari dari Sejarah Indonesia serta mengganti pandangan Eropasentris ke Indonesiasentris.

muhammad yamin
Gambar: Muhammad Yamin


Penulis sejarah pada masa pergerakan ini adalah dalam rangka pencarian subyektifitas dari peristiwa sejarah masa lampau. Masa lampau dipelajari bukan hanya untuk pengetahuan semata, tapi juga demi suatu peristiwa yang bisa dijadikan pelajaran pada masa sekarang. Karena peristiwa sejarah itu memiliki keistimewaan yaitu peristiwanya terjadi hanya satu kali saja. Jadi dalam menggali kembali sejarah masa lampau harus benar-benar teliti supaya tidak terjadi kerancauan di kemudian hari. Sejarah pada zaman revolusi ini terjadi ketika Indonesia mulai adanya pergerakan untuk mencapi suatu kemerdekaan. Penulisan ini dilakukan hanya untuk mendapatkan kebenaran akan kejadian masa lampau dengan adanya metodologi dalam penulisannya.


Description: historiografi indonesia masa revolusi, historiografi masa revolusi, historiografi masa revolusi indonesia

Kedatangan Bangsa Portugis ke Indonesia

Kedatangan orang-orang Eropa pertama di kawasan Asia Tenggara pada awal abad XVI kadang-kadang dipandang sebagai titik penentu yang paling penting dalam sejarah kawasan ini. Pada abad XV bangsa Portugis merupakan salah satu bangsa yang mencapai kemajuan-kemajuan di bidang teknologi. Bangsa Portugis telah dapat membuat kapal-kapal yang lebih layak dan canggih di bandingkan dengan kapal-kapal sebelumnya memungkinkan mereka melakukan sebuah pelayaran dan melebarkan kekuasaaan ke seberang lautan. Dengan alasan untuk menguasai impor rempah-rempah di kawasan Eropa, bangsa Portugis mencari daerah kawasan penghasil rempah-rempah terbaik. Rempah-rempah di kawasan Eropa merupakan kebutuhan dan juga cita rasa. Selama musim dingin di Eropa, tidak ada salah satu cara pun yang dapat di jalankan untuk mempertahankan agar semua hewan-hewan ternak dapat tetap hidup. Kerena itu banyak hewan ternak yang disembelih dan dagingnya kemudian harus di awetkan. Untuk itulah diperlukan sekali banyak garam dan rempah-rempah.

Cengkih dari Indonesia Timur adalah yang paling berharga. Indonesia juga menghasilkan lada, buah pala, dan bunga pala. Kekayaan alam Indonesia yang begitu melimpah termasuk dalam tanaman rempah-rempah menjadi alasan Portugis ingin menguasai daerah Indonesia sekaligus menguasai pasaran Eropa.


A. AWAL PROSES KEDATANGAN BANGSA PORTUGIS KE INDONESIA
Tahun 1487, Bartolomeus Dias mengitari Tanjung Harapan dan memasuki perairan Samudra Hindia. Selanjutnya pada tahun 1498, Vasco da Gama sampai di India. Namun, orang-orang Portugis ini segera mengetahui bahwa barang-barang dagangan yang hendak mereka jual tidak dapat bersaing di pasaran India yang canggih dengan barang-barang yang mengalir melalui jaringan perdagangan Asia. Karena itu, mereka sadar harus melakukan peperangan di laut untuk mengukuhkan diri.

bartolomeus diaz
Gambar: Bartolomeus Diaz


Alfonso de Albuquerque merupakan panglima angkatan laut terbesar pada masa itu. Pada tahun 1503 Albuquerque berangkat menuju India, dan pada tahun 1510, dia menaklukan Goa di Pantai Barat yang kemudian menjadi pangkalan tetap Portugis. Pada waktu itu telah dibangun pangkalan-pangkalan di tempat-tempat yang agak ke barat, yaitu di Ormuzdan Sokotra. Rencananya ialah untuk mendominasi perdagangan laut di Asia dengan cara membangun pangkalan tetap di tempat-tempat krusial yang dapat digunakan untuk mengarahkan teknologi militer Portugis yang tinggi. Pada tahun 1510, setelah mengalami banyak pertempuran, penderitaan, dan kekacauan internal, tampaknya Portugis hampir mencapai tujuannya. Sasaran yang paling penting adalah menyerang ujung timur perdagangan Asia di Maluku.

vasco da gama
Gambar: Vasco da Gama


Setelah mendengar laporan-laporan pertama dari para pedagang Asia mengenai kekayaan Malaka yang sangat besar, Raja Portugis mengutus Diogo Lopez de Sequiera untuk menekan Malaka, menjalin hubungan persahabatan dengan penguasanya, dan menetap disana sebagai wakil Portugis di sebelah timur India. Tugas Sequiera tersebut tidak mungkin terlaksana seluruhnya saat dia tiba di Maluku pada tahun 1509. Pada mulanya dia disambut dengan baik oleh Sultan Mahmud Syah (1488-1528), tetapi kemudian komunitas dagang internasional yang ada di kota itu meyakinkan Mahmud bahwa Portugis merupakan ancaman besar baginya. Akhirnya, Sultan Mahmud melawan Sequiera, menawan beberapa orang anak buahnya, dan membunuh beberapa yang lain. Ia juga mencoba menyerang empat kapal Portugis, tetapi keempat kapal tersebut berhasil berlayar ke laut lepas. Seperti yang telah terjadi di tempat-tempat yang lebih ke barat, tampak jelas bahwa penaklukan adalah satu-satunya cara yang tersedia bagi Portugis untuk memperkokoh diri.

alfonso de albuquerque
Gambar: Alfonso de Albuquerque


Pada bulan April 1511, Albuquerque melakukan pelayaran dari Goa menuju Malaka dengan kekuatan kira-kira 1200 orang dan 17 buah kapal. Peperangan pecah segera setelah kedatangannya dan berlangsung terus secara sporadis sepanjang bulan Juli hingga awal Agustus. Pihak Malaka terhambat oleh pertikaian antara Sultan Mahmud dan putranya, Sultan Ahmad yang baru saja diserahi kekuasaan atas negara namun dibunuh atas perintah ayahnya.

Malaka akhirnya berhasil ditaklukan oleh Portugis. Albuquerque menetap di Malaka sampai bulan November 1511, dan selama itu dia mempersiapkan pertahanan Malaka untuk menahan setiap serangan balasan orang-orang Melayu. Dia juga memerintahkan kapal-kapal yang pertama untuk mencari Kepulauan Rempah. Sesudah itu dia berangkat ke India dengan kapal besar, dia berhasil meloloskan diri ketika kapal itu karam di lepas pantai Sumatera beserta semua barang rampasan yang dijarah di Malaka.

Setelah satu kapal layar lagi tenggelam, sisa armada itu tiba di Ternate pada tahun itu juga. Dengan susah payah, ekspedisi pertama itu tiba di Ternate dan berhasil mengadakan hubungan dengan Sultan Aby Lais. Sultan Ternate itu berjanji akan menyediakan cengkeh bagi Portugis setiap tahun dengan syarat dibangunnya sebuah benteng di pulau Ternate.

Hubungan dagang yang tetap dirintis oleh Antonio de Abrito. Hubungannya dengan Sultan Ternate yang masih anak-anak, Kacili Abu Hayat, dan pengasuhnya yaitu Kacili Darwis berlangsung sangat baik. Pihak Ternate tanpa ragu mengizinkan De Brito membangun benteng pertama Portugis di Pulau Ternate (Sao Joao Bautista atau Nossa Seighora de Rossario) pada tahun 1522. Penduduk Ternate menggunakan istilah Kastela untuk benteng itu, bahkan kemudian benteng itu lebih dikenal dengan nama benteng Gamalama. Sejak tahun 1522 hingga tahun 1570 terjalin suatu hubungan dagang (cengkih) antara Portugis dan Ternate.

Portugis yang sedang menguasai Malaka, terbukti bahwa mereka tidak menguasai perdagangan Asia yang berpusat disana. Portugis tidak pernah dapat mencukupi kebutuhannya sendiri dan sangat tergantung kepada para pemasok bahan makanan dari Asia seperti halnya para penguasa Melayu sebelum mereka di Malaka. Mereka kekurangan dana dan sumber daya manusia. Organisasi mereka ditandai dengan perintah-perintah yang saling tumpang tindih dan membingungkan, ketidakefisienan, dan korupsi. Bahkan gubernur-gubernur mereka di Malaka turut berdagang demi keuntungan pribadi di pelabuhan Malaya, Johor, pajak dan harga barang-barangnya lebih rendah, dan hal tersebut telah merusak monopoli yang seharusnya mereka jaga. Para pedagang Asia mengalihkan sebagian besar perdagangan mereka ke pelabuhan-pelabuhan lain dan menghindari monopoli Portugis yang mudah.


peta selat malaka
Gambar: Selat Malaka


Begitu cepat Portugis tidak lagi menjadi suatu kekuatan yang revolusioner. Keunggulan teknologi mereka yang terdiri atas teknik-teknik pelayaran dan militer berhasil dipelajari dengan cepat oleh saingan-saingan mereka dari Indonesia. Seperti meriam Portugis yang dengan cepat berhasil direbut oleh orang-orang Indonesia. Portugis menjadi suatu bagian dari jaringan konflik di selat Malaka, dimana Johor dan Aceh berlomba-lomba untuk saling mengalahkan Portugis agar bisa menguasai Malaka.

Kota Malaka mulai sekarat sebagai pelabuhan dagang selama berada dibawah cengkeraman Portugis. Mereka tidak pernah berhasil memonopoli perdagangan Asia. Portugis hanya mempunyai sedikit pengaruh terhadap kebudayaan orang-orang Indonesia yang tinggal di nusantara bagian barat, dan segera menjadi bagian yang aneh di dalam lingkungan Indonesia. Portugis telah mengacaukan secara mendasar organisasi sistem perdagangan Asia. Tidak ada lagi satu pelabuhan pusat dimana kekayaan Asia dapat saling dipertukarkan, tidak ada lagi negara Malaya yang menjaga ketertiban selat Malaka dan membuatnya aman bagi lalu lintas perdagangan. Sebaliknya komunitas dagang telah menyebar ke beberapa pelabuhan dan pertempuran sengit meletus di Selat.

Segera setelah Malaka ditaklukan, dikirimlah misi penyelidikan yang pertama ke arah timur dibawah pimpinan Francisco Serrao. Pada tahun 1512, kapalnya mengalami kerusakan, tetapi dia berhasil mencapai Hitu (Ambon sebelah utara). Disana dia mempertunjukkan keterampilan perang melawan suatu pasukan penyerang yang membuat dirinya disukai oleh penguasa setempat. Hal ini mendorong kedua penguasa setempat yang bersaing (Ternate dan Tidore) untuk menjajaki kemungkinan memperoleh bantuan Portugis. Portugis disambut baik di daerah itu karena mereka juga dapat membawa bahan pangan dan membeli rempah-rempah. Akan tetapi perdagangan Asia segera bangkit kembali, sehingga Portugis tidak pernah dapat melakukan suatu monopoli yang efektif dalam perdagangan rempah-rempah.

Sultan Ternate, Abu Lais (1522) membujuk orang Portugis untuk mendukungnya dan pada tahun 1522, mereka mulai membangun sebuah benteng disana. Sultan Mansur dari Tidore mengambil keuntungan dari kedatangan sisa-sisa ekspedisi pelayaran keliling dunia Magellan di tahun 1521 untuk membentuk suatu persekutuan dengan bangsa Spanyol yang tidak memberikan banyak hasil dalam periode ini.

Hubungan Ternate dan Portugis berubah menjadi tegang karena upaya yang lemah Portugis melakukan kristenisasi dan karena perilaku orang-orang Portugis yang tidak sopan. Pada tahun 1535, orang-orang Portugis di Ternate menurunkan Raja Tabariji (1523-1535) dari singgasananya dan mengirimnya ke Goa yang dikuasai Portugis. Disana dia masuk Kristen dan memakai nama Dom Manuel, dan setelah dinyatakan tidak terbukti melakukan hal-hal yang dituduhkan kepadanya, dia dikirim kembali ke Ternate untuk menduduki singgasananya lagi. Akan tetapi dalam perjalanannya dia wafat di Malaka pada tahun 1545. Namun sebelum wafat, dia menyerahkan Pulau Ambon kepada orang Portugis yang menjadi ayah baptisnya, Jordao de Freitas.

Akhirnya orang-orang Portugis yang membunuh Sultan Ternate, Hairun (1535-1570) pada tahun 1570, diusir dari Ternate pada tahun 1575 setelah terjadi pengepungan selama 5 tahun. Mereka kemudian pindah ke Tidore dan membangun benteng baru pada tahun 1578. Akan tetapi Ambon-lah yang kemudian menjadi pusat utama kegiatan-kegiatan Portugis di Maluku sesudah itu. Ternate sementara itu menjadi sebuah negara yang gigih menganut Islam dan anti Portugis dibawah pemerintahan Sultan Baabullah (1570-1583) dan putranya Sultan Said ad-Din Berkat Syah (1584-1606).

Pada waktu itu juga Portugis terlibat perang di Solor. Pada tahun 1562, para pendeta Dominik membangun benteng dari batang kelapa disana. Pada tahun berikutnnya dibakar para penyerang beragama Islam dari Jawa. Namun orang-orang Dominik tetap bertahan dan segera membangun ulang benteng dari bahan yang lebih kuat dan mulai melakukan kristenisasi pada penduduk lokal.

Pada tahun sesudahnya, muncul serangan-serangan dari Jawa. Masyarakat Solor sendiri pun tidak secara keseluruhan senang terhadap orang-orang Portugis dan agama mereka, sehingga seringkali muncul perlawanan. Pada tahun 1598-1599, pemberontakan besar-besaran dari orang Solor memaksa pihak Portugis mengirimkan sebuah armada yang terdiri dari 90 kapal untuk menundukkan para pemberontak itu. Namun Portugis tetap menduduki benteng-benteng mereka di Solor sampai diusir oleh Belanda pada tahun 1613 dan setelah itu Portugis melakukan pendudukan kembali pada tahun 1636.

Diantara para petualang Portugis tersebut ada seorang Eropa yang tugasnya memprakarsai suatu perubahan yang tetap di Indonesia Timur. Orang ini bernama Francis Xavier (1506-1552) dan Santo Ignaius Loyola yang mendirikan orde Jesuit. Pada tahun 1546-1547, Xavier bekerja di tengah-tengah orang Ambon, Ternate, dan Moro untuk meletakkan dasar-dasar bagi suatu misi yang tetap disana. Pada tahun 1560-an terdapat sekitar 10.000 orang katolik di wilayah itu dan pada tahun 1590-an terdapat 50.000-an orang. Orang-orang Dominik juga cukup sukses mengkristenkan Solor. Pada tahun 1590-an orang-orang Portugis dan penduduk lokal yang beragama Kristen di sana diperkirakan mencapai 25.000 orang.


B. PENGARUH BANGSA PORTUGIS DI INDONESIA
Selama berada di Maluku, orang-orang Portugis meninggalkan beberapa pengaruh kebudayaan mereka seperti balada-balada keroncong romantis yang dinyanyikan dengan iringan gitar berasal dari kebudayaan Portugis. Kosa kata Bahasa Indonesia juga ada yang berasal dari bahasa Portugis yaitu pesta, sabun, bendera, meja, Minggu, dll. Hal ini mencerminkan peranan bahasa Portugis disamping bahasa Melayu sebagai lingua franca di seluruh pelosok nusantara sampai awal abad XIX. Bahkan di Ambon masih banyak ditemukan nama-nama keluarga yang berasal dari Portugis seperti da Costa, Dias, de Fretas, Gonsalves, Mendoza, Rodriguez, da Silva, dll. Pengaruh besar lain dari orang-orang Portugis di Indonesia yaitu penanaman agama Katolik di beberapa daerah timur di Indonesia.


Description: kedatangan bangsa portugis ke indonesia, bangsa portugis ke indonesia, awal kedatangan bangsa portugis

Historiografi Indonesia Modern

Historiografi Indonesia Modern dapat diartikan sebagai penulisan sejarah Indonesia yang lebih modern dari pada historiografi Indonesia yang terdahulu yaitu historiografi tradisional, historiografi masa kolonial atau masa reformasi. Tumbuhnya historiografi Indonesia modern merupakan suatu tuntutan akan ketepatan teknik dalam usaha untuk mendapatkan fakta sejarah secermat mungkin dan mengadakan rekonstruksi sebaik mungkin serta menerangkannya setepat mungkin. Historiografi modern yang tumbuh dari Eropa baru dikembangkan di Indonesia dan Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke-19. Perluasan kekuasaan bangsa Eropa yang tidak merata di seluruh wilayah dan sumber bahan yang sedikit tidak memungkinkan adanya perkembangan historiografi modern, maka tulisan yang dihasilkan orang–orang Eropa pada abad ke 16 sampai ke 19 tidak mempengaruhi penulisan orang–orang Asia khususnya Indonesia.

Historiografi Indonesia Modern dimulai pada tanggal 14-18 Desember 1957, ketika itu kementrian pendidikan mengadakan Seminar Nasional Sejarah yang pertama di Yogyakarta untuk merancang sejarah nasional yang resmi. Pembangunan nasional adalah salah satu tema utama pada tahun 1950-an dan penulisan sejarah nasional adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses ini. Seminar itu membicarakan tentang usaha penulisan sejarah nasional yang berpandangan Indonesia sentris. Sejarah nasional diharapkan menjadi alat pemersatu dengan memberikan penjelasan tentang keberadaaan bangsa Indonesia melalui jejak sejarahnya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia ditulis oleh orang Indonesia sendiri, dengan demikian tentu objektivitasnya dapat dipertanggungjawabkan karena yang menulis sejarah adalah orang yang berada pada saat peristiwa tersebut terjadi atau setidaknya adalah orang Indonesia asli.

muhammad yamin
Gambar: Muhammad Yamin


Pada saat Seminar Nasional Sejarah yang pertama muncul perselisihan pendapat antara Muhammad Yamin dan Soedjatmoko. Yamin berpendapat bahwa penelitian ilmiah seharusnya mengarah pada interpretasi nasionalis yang dapat berguna untuk memperkuat kesadaran nasional. Sodjatmoko berpendapat nasionalisme mengesampingkan pendekatan ilmiah murni, karena itu ia menjunjung tinggi tanggung jawab perorangan dan semacam universalisme abstrak. Soedjatmoko kalah suara dikarenakan pendekatannya tidak sesuai dengan kondisi masyarakat tahun 1950-an, saat rakyat di Indonesia didorong untuk menjadi orang Indonesia.

soedjatmoko
Gambar: Soedjatmoko


Para sejarawan baru membangun sejarah nasioanl mereka diatas basis kolonial. Meskipun demikian asal usul Indonesia tetap dipancang kuat–kuat pada masa imperialisme Majapahit yang berpusat di Jawa. Kaum intelektual seperti Muhammad Hatta, Takdir Alisjahbana, dan para pemuka politik diluar Jawa menentang imperialism Majapahit baru yang terpusat di Jawa. Roeslan Abdul Gani mengemukakan sejarah yang diilhami Marxisme yang menunjukan antithesis antara kekuatan terang dan kekuatan gelap pada akhirnya membuahkan kebebasan bagi rakyat jelata, sementara Hatta menekankan bahwa historiografi sejati Indonesia berkaitan dengan wujudnya manusia pancasila.

Menjelang akhir tahun 1950-an upaya untuk membentuk lembaga–lembaga demokrasi dan otonomi daerah mengalami kegagalan akibat nasionalisme otoriter Soekarno. Indonesia masih menjadi negara tanpa sejarah karena niat konstituante 1957 untuk menulis sejarah nasional yang baru tidak terwujud. Menurut Pramodya Anata Toer yang mempunyai pandangan sama dengan Yamin dan lain–lain beranggapan bahwa meskipun historiografi Indonesia sebaiknya menggunakan metode modern penulisan sejarah yang berkembang di barat, tetapi historiografi Indonesia harus membedakan diri dari yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia. Sementara itu disisi lain, para wakil militer juga ikut serta menulis ulang sejarah nasional dan memasukannya ke dalam mata pelajaran sejarah. Nugroho Notosusanto pada tahun 1970-an berhasil melakukan militerisasi historiografi Indonesia terutama menyoroti peranan militer dalam menjaga keselamatan negara.


A. HISTORIOGRAFI INDONESIA MODERN ERA ORDE BARU
Setelah dilaksanakan Seminar Nasional Sejarah yang kedua pada tahun 1970, buku sejarah nasional akhirnya terbit pada tahun 1975. Buku yang berisi penetapan periode sejarah Indonesia berisi enam jilid yang semuanya mencakup prasejarah, periode kerajaan kerajaan lama hindu, kerajaan–kerajaan Islam, pemerintahan kolonial abad ke 19, nasionalisme dan akhir pemerintahan kolonial, pendudukan Jepang, revolusi, demokrasi liberal, dan demokrasi terpimpin sampai peristiwa G30S/PKI.

Historiografi Indonesia Modern saat itu juga menekankan arsip negara sebagai fakta–fakta yang dapat dipercaya berbeda dengan historiografi lokal yang dimasukkan kedalam kategori dongeng rakyat. Buku–buku pelajaran sekolah merupakan dasar untuk mengembangkan kesadaran sejarah dan kesadaran nasional sebagaimana dilihat oleh negara. Sebagian besar sejarawan selama periode orde baru berhasil menghindarkan diri dari fokus kepada negara sebagai penindas dan peranannya dalam penulis dan sejarah nasional dan lokal. Dengan demikian sejarawan professional di Indonesia lebih memusatkan perhatiannya pada topik–topik penelitian yang tidak terlalu peka yang seringkali disponsori pemerintah.


B. PENGARUH HISTORIOGRAFI TRADISIONAL DAN HISTORIOGRAFI INDONESIA MASA REVOLUSI
Historiografi modern yang tumbuh dari Eropa, baru dapat berkembang di Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke 19, setelah ilmu pengetahuan dan kebudayaan barat secara sadar diajarkan dan dipelajari di beberapa tempat di Asia Tenggara. Pada abad ke 16 sampai abad ke 19 tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh orang-orang Indonesia tidak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan yang dihasilkan orang Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris. Pada abad ke 18 penelitian sejarah masih bersifat terbatas yaitu dengan pembentukan Bataviaach Genootschap voor kunsten en Wetenshappen (Perhimpunan Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan) di Jakarta tahun 1778. Buku yang diterbitkan pada tahun 1783 yaitu "History of Sumatra" yang ditulis oleh William Marsden dan buku "History of Java" (1817) juga masih belum terlalu menarik orang untuk meneliti sejarah. Kemudian baru pada akhir abad ke 19, dengan dihidupkannya kembali Perhimpunan Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan serta dibentuknya Straits Branch of Royal Asiatic pada tahun 1878 kegiatan ilmiah yang sungguh-sungguh mulai terjadi. Tradisi penulisan babad dan sejarah juga masih tetap hidup.

Pada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, terdapat tiga bidang historiografi Asia Tenggara yang berbeda-beda. Tiga bidang historiografi tersebut yaitu:
  1. Sejarah Kuno, yang tidak dikenal atau kurang dikenal oleh penduduk asli, diungkapkan oleh para fiolog, epigraf, dan para arkeolog. Misalnya N.J. Krom mengenai Sejarah Kuno Indonesia.
  2. Sejarah Kolonial, yang mencakup-perdagangan, perang, perjanjian-perjanjian dan adinistrasi orang Eropa, adalah perhatian khusus dari orang-orang Eropa sendiri, dan kurang sekali menarik perhatian khusus dari orang-orang Eropa sendiri, dan kurang sekali menarik perhatian-perhatian sarjana-sarjana setempat.
  3. Periode Tengah, yang berkisar antara empat sampai sepuluh abad sebelum abad ke 19, adalah zaman penulisan sejarah penduduk asli, metode-metode modern bisa digunakan untuk mengatur, menentukan tanggal-tanggal secara tepat, dan malah mengintepretasikan kembali tulisan dari periode-periode itu.

Sejak merdeka bangsa Indonesia mulai mengambil langkah-langkah baru dalam historiografi yaitu:
1. Diterbitkannya karya D.G.E. Hall, A History of Southeast Asia, tahun 1955, telah berhasil memantapkan pandangan bahwa seluruh perkembangan sejarah dari jaman kuno sampai modern bagi Asia Tenggara adalah suatu unit sejarah yang jelas.

a history of south east asia
Gambar: A History of South East Asia


2. Hasil penelitian J.C.Van Leur tentang pelayaran niaga di Asia pada masa kuno, telah menimbulkan perdebatan-perdebatan mengenai sifat dan karya-karya orang Eropa mengenai Asia Tenggara. Sebagian kecil dari artikel dan disertasinya telah diterjemahkan oleh W.F. Wertheim, Indonesian Trade and Society: Essay in Asian and Social Economic History, terbit tahun 1960. Sebagai akibatnya, Asia Tenggara diberikan tempat khusus dalam konferensi penulisan sejarah Asia di London pada tahun 1956. Hal ini merangsang timbulnya sejumlah karangan mengenai historiografi Indonesia yang dicetuskan dalam Seminar Sejarah Nasional di Yogyakarta tahun 1957.

3. Usaha bersama yang melahirkan pertemuan International Association of Historians of Asia (Perhimpunan International dari Sejarawan Asia) yang berkongres dalam waktu tiga atau empat tahun sekali.


C. KECENDERUNGAN HISTORIOGRAFI INDONESIA MODERN
Historiografi Modern memgunakan metode yang kritis dan menerapkan penghalusan teknik penelitian dan memakai ilmu-ilmu bantu baru yang bermunculan. Secara bertahap berbagai ilmu bantu baru dalam pengerjaan sejarah berkembang mulai dari penguasaan bahasa, epigrafi (membaca tulisan kuno), numismatik (mempelajari mata uang kuno), dan arkeologi yang mempelajari permasalahan arsip-arsip. Jadi ketepatan pengujian bahan harus selalu diperhalus dan metode pengumpulan sumber (heuristik) harus dikembangkan.

Pada masa historiografi modern terdapat suatu terobosan baru yaitu munculnya peranan-peranan rakyat kecil (wong cilik) sebagai pelaku sejarah yang bisa dibilang diperopori oleh Prof. Sartono kartodirdjo. Penulisan sejarah selama ini boleh dikatakan didominasi oleh para tokoh-tokoh besar seperti para pahlawan kemerdekaan, ataupun tokoh politik yang berpengaruh. Hal tersebut tentu saja tidak jelek, karena pada masa sekitar kemerdekaan, historiografi dipakai sebagai pemicu rasa nasionalisme ditengah-tengah masyarakat yang baru tumbuh. Oleh karena itu pada masa itu historiografi hanya berisi mengenai biografi dan penulisan tentang tokoh-tokoh besar saja.

sartono kartodirdjo
Gambar: Sartono Kartodirdjo


Perubahan pandangan penulisan sejarah yang semula Eropa-sentris menuju Indonesia-sentris mempengaruhi perkembangan historiografi selanjutnya. Karena pada masa penjajahan Belanda historiografi Indonesia memiliki ciri Eropa-sentris yaitu lebih memadang bangsa Eropa sebagai yang paling baik, dan bangsa diluar tersebut adalah tidak baik. Tetapi dengan adanya perubahan pandangan Indonesia Sentris ini bangsa Indonesia tidak lagi dipandang sebagai bangsa rendahan. Perkembangan yang terlihat pada penulisan sejarah Indonesia adalah kata-kata "pemberontakan" yang dahulu sering ditulis oleh para sejarawan Eropa kini berganti menjadi "perlawanan" atau "perjuangan" hal tersebut logis karena sebagai bangsa yang terjajah tentu saja harus melawan untuk mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan.

Perubahan-perubahan historiografi yang terjadi setelah tahun 1970 tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti yang kongkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideologi, dan substansi sejarah. Tren kecenderungan historiografi Indonesia modern dilihat dari 3 kategori yaitu ideologi untuk meperkuat, sejarah pewarisan 1980-1990an yaitu orang-orang yang menuliskan biografi sendiri, dan sejarah ilmiah yang ditulis oleh akademisi. Pada masa historiografi modern banyak buku-buku luar yang disempurnakan dan tokoh-tokoh kecil banyak berperan misalnya pemberontakan petani.


Description: historiografi modern indonesia, historiografi modern, historiografi indonesia

Historiografi Masa Kolonial Hindia Belanda

Bagi para sejarawan Indonesia, pengetahuan tentang bahasa Belanda dan sumber-sumber Belanda mutlak diperlukan. Hampir semua dokumen resmi dan sebagian besar memoar pribadi serta gambaran mengenai negeri ini, yang muncul selama lima puluh tahun terakhir, tertulis dalam bahasa tersebut. Namun dilihat sepintas lalu, sebagian besar sumber-sumber Belanda mungkin tampak tidak penting kaitannya dengan sejarah Indonesia. Laporan-laporan resmi Belanda pasti melukiskan kehidupan serta tindakan orang Belanda, dan bukan orang Indonesia. Laporan itu ditulis dengan sudut pandang Eropa, bukan Asia.

Semua itu merupakan keberatan yang meyakinkan, namun jawabannya dapat ditemukan. Pertama-tama, seluruh sumber Belanda saja, yang bersifat naskah dalam tulisan tangan maupun cetakan harus ditekankan artinya. Berjilid-jilid buku bersampul kulit dari berita-berita VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) yang dijajarkan dalam almari arsip negara di Den Haag saja sudah berjumlah lebih dari dua belas ribu buah. Berita-berita dari pengganti kompeni, yaitu pemerintah Hindia-Belanda sebagian dari antaranya sudah berjilid, sebagian lainnya masih dalam berkas-berkasnya yang asli sepuluh kali lebih banyak dari jumlah itu. Kedua, para pegawai Belanda di Indonesia sejak masa yang paling awal, mempunyai banyak kepentingan dan tanggung jawab di luar kegiatan-kegiatan perdagangan dan tata usaha sehari-hari. Pada abad ke-17, ketika ketidaktahuan Eropa tentang Asia, para pegawai VOC harus menyiapkan laporan-laporan yang teliti mengenai keadaan di Indonesia, bagi para tuannya di Belanda dengan sedikit gambaran tentang keadaan Indonesia, sehingga keputusan yang diambil di Belanda mempunyai dasar yang lebih kokoh daripada dugaan semata.

Kemudian, ketika pemerintah Hindia Belanda memerintah di seluruh Indonesia, para pegawainya diharuskan memberikan laporan tentang seluruh negeri dan setiap rincian tentang hukum dan kebiasaan setempat yang menarik perhatiannya. Sekali lagi, tujuannya adalah agar kebijakan pemerintah dapat disesuaikan dengan tuntutan tampat dan waktu. Umumnya tugas itu dilaksanakan secara lebih cakap oleh para pegawai Belanda di timur daripada para pegawai kolonial mana pun.


A. PENULISAN SEJARAH MASA KOLONIAL HINDIA BELANDA
Penulisan sejarah Hindia Belanda yang tertua dapat disebut pada buku-buku harian kapal yang pada zaman keemasan dicetak dalam jumlah yang besar dan banyak dibaca. Kini buku-buku tersebut diterbitkan kembali dengan lengkap oleh Van Linschoten Vereeniging. Suatu kisah umum yang pertama tentang kegiatan-kegiatan VOC pada masa permulaan terdapat dalam buku Begin ende voortganck van de vereenigde Nederlandsche Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie. Walaupun pelajar-pelajar ke Hindia (Oostinjevaarders) tidak datang untuk belajar melainkan untuk berdagang, sebagian besar dari mereka tidak bisa menghindarkan diri dari mencatat beberapa keterangan tentang berbagai hal yang aneh yang mereka lihat dan dengar. Sangatlah menarik perhatian betapa ekstensifnya surat-surat resmi kompeni dan penuh dengan keterangan-keterangan etnografis dan historis. Tetapi sayang sekali dokumen ini kebanyakan berada dalam arsip. Hanya beberapa dokumen saja yang dikeluarkan dalam zaman Campagnie itu juga seperti buku Van Goen tentang pulau Jawa. Buku yang pertama dalam jenisnya ini justru menceritakan pegawai kompeni yang sejati, penuh perhatian pada masyarakat pribumi yang menakjubkan.


B. KARAKTERISTIK HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
Historiografi kolonial memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan historiografi pada periode yang lainnya. Historiografi kolonial ditulis oleh sejarawan atau orang-orang pemerintah kolonial yang intinya bahwa yang membuat adalah orang barat. Pembuatan historiografi ini dimaksudkan untuk dijadikan sebagai bahan laporan pada pemerintah kerajaan Belanda, sebagai bahan evaluasi menentukan kebijakan pada daerah kolonial. Oleh karena itu motivasinya adalah sebagai bahan laporan maka yang ditulisnya pun adalah sejarah dan perkembangan orang-orang asing di daerah kolonial khususnya Indonesia. Sangat sedikit hasil historiografi kolonial yang menceritakan tentang kondisi rakyat jajahan, atau bahkan mungkin tidak ada. Toh, kalau pun tercatat, orang pribumi itu sangat dekat hubungannya dengan orang asing dan yang telah berjasa pada pemerintah kolonial.

Historiografi kolonial dengan sendirinya menonjolkan peranan bangsa Belanda dan memberi tekanan pada aspek politis, ekonomis dan institusional. Hal ini merupakan perkembangan secara logis dari situasi kolonial dimana penulisan sejarah terutama mewujudkan sejarah dari golongan yang dominan beserta lembaga-lembaganya. Interpretasi dari jaman kolonial cenderung untuk membuat mitologisasi dari dominasi itu, dengan menyebut perang-perang kolonial sebagai usaha pasifikasi daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan untuk survival masyarakat serta kebudayaannya.

Ciri dari historiografi kolonial masa Hindia Belanda adalah memiliki sifat Eropa Sentris atau yang lebih fokusnya adalah Belanda Sentris. Boleh dikatakan bahwa sifat ini memusatkan perhatiannya kepada sejarah bangsa Belanda dalam perantauannya, baik dalam pelayarannya maupun permukimannya di benua lain. Jadi yang primer ialah riwayat perantauan atau kolonisasi bangsa Belanda, sedangkan peristiwa-peristiwa sekitar bangsa Indonesia sendiri menjadi sekunder. Sumber-sumber yang dipergunakan ialah dari arsip negara di negeri Belanda dan di Jakarta (Batavia). Pada umumnya tidak menggunakan atau mengabaikan sumber-sumber Indonesia. Fokus pembicaraannya adalah bangsa Belanda, bukanlah kehidupan rakyat atau kiprah bangsa Indonesia di masa penjajahan Belanda. Itulah sebabnya sifat pokok dari historiografi kolonial ialah Eropa sentries atau Belanda sentris. Uraian utama yang dibentangkan secara panjang lebar adalah aktivitas bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni (orang-orang kulit putih), seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal dalam menjalankan tugasnya di tanah jajahan, yakni Indonesia. Aktivitas rakyat tanah jajahan (rakyat Indonesia) diabaikan sama sekali. Contoh historigrafi kolonial, antara lain sebagai berikut:
  1. Indonesian Trade and Society karangan Y.C. Van Leur.
  2. Indonesian Sociological Studies karangan Schrieke.
  3. Indonesian Society in Transition karangan Wertheim.


C. SEJARAWAN MASA KOLONIAL
1. Valentjin (1666-1727)
Suatu ikhtisar yang besar mengenai segala sesuatu yang dikenal tentang kompeni dan kepulauan ini pada permulaan abad ke 18 adalah “Oud en Nieuw Oost Indien” karangan de F. Valentjin. Ensiklopedia Hindia Belanda dari masa Campagnie ini adalah suatu karya yang sangat dalam 8 jilid buku, dan dihias dengan gambar-gambar yang tidak menarik. Sebenarnya karya itu merupakan suatu kompilasi yang mengagumkan dari pengumumaan, dokumen-dokumen pribadi dan fragmen-fragmen yang dicuri dari karya orang lain yang dikumpulkan oleh sesorang yang mengenal Hindia-Belanda dengan baik.

Valentijn kiranya sangat senang dengan suasana Hindia, dia sendiri juga tidak lepas dari kesalahan. Dia menaruh hati pada kebesaran Campagnie dan pertumbuhan gereja Hindia akan tetapi ia juga mengkritik sejarah Hindia tentang orang-orang tertentu. Dalam karyanya tentang sejarah Maluku ia berdiam bertahun-tahun untuk menulis karya tersebut. Dari banyak peninggalan Jawa kuno yang tercatat dalam babad, interpretasi pertama dan tertua adalah miliki Valentijn.

2. Van Dam
Karyanya lebih resmi dan kurang pribadi sifatnya daripada karya Valentijn. Akan tetapi karya ini kurang berarti karena Van Dam melihatnya melalui kacamata Campagnie dan Hindia yang hanya dikenalnya dari surat-surat dan buku-buku. Van Dam menulis dari Belanda. Anehnya pada masa itu buku Van Dam dirahasiakan. Baru sekarang buku itu diterbitkan dalam Rijks Geschiedkundige Publicatien oleh Dr. F. W. Stapel. Inilah titik puncak dalam penulisan sejarah Compagnie.

3. Thomas Stamford Raffles (1781-1826)
Raffles melihat Hindia dari segi yang lain sama sekali. Dalam buku karyanya yaitu History of Java, dia banyak banyak menggunakan sumber-sumber pribumi yang dibuka oleh temannya Panembahan dari Sumenep.

thomas stamford raffles
Gambar: Thomas Stamford Raffles


4. J. Hageman (1817-1872)
Hageman merupakan seoarang pencari, pengumpul, pemeriksa, dan seorang yang berpengetahuan luas yang sangat bersemangat dan tidak kenal lelah dan juga karena kurangnya pendidikan, bekerja sangat tidak kritis dan karena itu memberikan banyak kesempatan untuk dikritik. Dia adalah orang Belanda pertamayang telah berusaha menulis sejarah nasional pulau Jawa.

5. De Jonge (1828-1879)
De Jonge sendiri sejak tahun 1854 bekerja pada Arsip Kerajaan. Mulai tahun 1862 ia menerbitkan suatu seri dokumen dalam 10 jilid yang dilengkapi dengan pengantar-pengantar historis.


D. MAZHAB PENULISAN MASA KOLONIAL
1. Mazhab Batavia
Dalam Arsip Negara di Batavia terbentuk suatu mazhab sejarawan-sejarawan Hindia yang mencurahkan perhatiannya pada penerbitan sumber. Antara lain dengan diterbitkannya N.I. Plakkaatboek dan Dagregister (1682) oleh Mr. J.A van der Chije yang disimpan di Kasteel di Batavia. Kepala arsip Negara, F. de Haan, memperkaya Hindia dengan banyak naskah orisinil. Kita hanya tahu karyanya yaitu “Priangan” dan “Oud Batavia” yang popular pada saat itu. Mereka menulis karya-karyanya hanya mengenal Hindia dan penduduk-penduduk Eropa saja melalui pengamatanya sendiri, sehingga penilaian mereka tentang orang-orang Eropa itu tidak lebih baik, paling tidak miliki alasan yang kuat. Sedangkan perhatian mereka pada orang-orang pribumi hanya insidentil saja. Mereka hanya melihat dari sumber buku-buku Campagnie. Tidak ada seorang pun yang bisa mempelajari sumber-sumber pribumi yang asli. Dengan demikian corak penulisan mereka lebih kepada ciri Nasionalistis Nederland, sedangkan sejarah Batavia dan perkumpulan Oud-Batavia telah menjadi kombinasi museum dan Coen-mausoleum.

2. Mazhab Utrecht
Sejak 10 tahun akhirnya Prof. Gerretson melakukan suatu perjuangan terhadap pengertian-pengertian tentang keadaan kolonial yang tidak bisa dikatakan tidak berhasil sama sekali, agar mendapatkan pandangan yang lebih baik dalam hak-hak dan kewajiban kolonial. Dengan demikian mazhab ini beraliran konservatif yang diperkenalkan oleh Gubernur Jendral van der Capellen dan bahkan membela cultur stelsel yang bertentangan dengan kaum kolonial-liberalisme dan etis pada saat itu.

Mazhab Utrecht menggali masalah-masalah kolonial lebih mendalam dari pada yang pernah dilakukan dan mazhab batavia memperlihatkan perhatiannya kepada orang-orang kolonial. Dibandingkan dengan aliran yang sebelumnya, maka terlihat perbedaan dalam tujuan yang hanya membahas mengenai kegiatan-kegiatan kolonisator. Akan tetapi dalam metodenya tidak memilki perbedaan yaitu sama-sama menggunakan sumber dari peninggalan-peninggalan tertulis maupun lisan dari orang-orang pribumi. Seperti pada tahun 1600, hanya sedikit yang menceritakan tentang periode Hindu Jawa dan Islam tetapi lebih banyak mengungkapkan hal-hal pada masa Campagnie.


E. KELEBIHAN HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
Tidak disangkal bahwa historiografi masa kolonial turut memperkuat proses naturalisasi historiografi Indonesia. Terlepas dari subyektifitas yang melekat, sejarawan kolonial berorientasikan fakta-fakta dan kejadian-kejadian. Kekayaan akan fakta-fakta sungguh mencolok. Pembicaraan mengenai perkembangan historiografi Indonesia tidak dapat mengabaikan literatur historiografis yang dihasilkan oleh sejarawan kolonial.


F. KELEMAHAN HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
1. Subyektifitas Tinggi Terhadap Belanda
Subyektifitas begitu melekat pada historiografi masa kolonial. Sejarawan kolonial pada umumnya deskripsinya berorientasikan pada kejadian-kejadian yang menyangkut orang-orang Belanda, misalnya dalam sejarah VOC. Banyak kupasan-kupasan yang menekankan ciri yang menonjol yaitu Nederlandosentrime pada khususnya dan Eropasentrisme pada umumnya.

Apabila kita mengingat banyaknya perlawanan selama abad 19, baik yang berupa perang bersekala besar (Perang Padri, Perang Diponegoro, dan Perang Aceh) maupun yang bersekala kecil yang dilakukan oleh rakyat disebut rusuh atau brandalan. Seperti pemberontakan di Cilegon, Gedangan, Jambi, Cimareme. Sejarah perang kolonial terutama menguraikan berbagai operasi militer secara mendetail, sedangkan bangsa Indonesia hanya disebut sebgai obyek dari aksi militer itu.

2. Kekurangan Kualitatif dari Sejarawan-Sejarawan Kolonial
Kebanyakan buku tentang sejarah kolonial mempunyai hal-hal yang kaku dan dibuat-buat. Buku-buku yang seluruhnya ditulis dari ruang studi di Belanda dan hampir seluruhnya membahas Gubernemen dan pejabat-pejabatnya dan orang-orang pribumi yang kebetulan dijumpai. Hanya sedikit dibicarakan tentang rakyat yang berfikir, yang merasa dan bertindak dan hampir tidak seorang pun yang berusaha meneliti syair-syair, hikayat, babad, dan sejarah. Apa yang menjadi pertimbangan dan pendapat mereka karena kebanyakan sejarawan Campagnie hampir tidak menceritakan akan adanya tulisan-tulisan pribumi atau menilainya terlalu rendah. Mereka malu akan bahan-bahannya baik orang Eropa maupun orang pribumi dikritik. Bahwa keadaannya jauh lebih baik dan hal ini membenarkan kehadiran orang-orang Eropa sekarang.

3. Kekurangan Kuantitatif
Setelah masa kompeni relatif sedikit karya-karya yang diterbitkan yang disebabkan oleh sistem kerahasian yang fatal dan yang berlaku pada masa itu dan pergawasan yang menurun terhadap jajahan pada abad ke-18. Berdasarkan jumlah bahan arsip yang banyak, hanya sedikit saja yang merupakan sumber terbuka. Cukup besar keuntungan kita apabila mempunyai penerbit dari Generalie Missiven atau laporan-laporan kolonial yang dititipkan setiap tahun, satu atau beberapa exemplar pada kapal-kapal yang berlayar pulang. Tidak hanya mengenai sejarah Hindia Belanda melainkan juga tentang sejarah Asia dan Afrika. Kita saat ini hanya memiliki suatu penerbitan yang sangat tidak lengkap dari missiven yang dikumpulkan oleh ahli arsip kerajaan, de Jonge memiliki hubungan Indonesia. Penerbit ini dicetak atas kertas yang buruk sekali, sehingga penerbit ini tidak akan bertahan lama hal ini merupakan salah satu contoh kesulitan yang di hadapi seorang sejarahwan kompeni. Jumlah buku tentang sejarah Indonesia sangatlah minim.


G. SARANA BANTU PENELITIAN
Ada dua terbitan yang bersama-sama memberi uraian yang boleh dikatakan lengkap tentang sumber-sumber tercetak mengenai sejarah Indonesia yang ada dalam bahasa Belanda. Keduanya mendaftar bahan sekunder maupun primer, tetapi referensi yang diberikan cukup terinci sehingga pada umumnya memungkinkan kita untuk membedakan yang satu dari yang lainnya. Pertama adalah Catalogus der Koloniale Bibliotheek van het Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie en het Indisch Genootschap (4 jilid, 1908-1937). Dalam katalog ini disebut hampir seluruh terbitan sejarah tentang jajahan Belanda yang muncul sampai tahun 1935. Karena itu katalog ini dapat dianggap sebagai bibliografi sejarah Indonesia yang hampir lengkap yang ditulis sampai tahun itu.

Alat bantu penelitian tambahan yang bernilai adalah J.C Hooykaas dan lain-lain, ed., Repertorium op de Koloniale Litteratuur (11 jilid, 1877-1935). Karya ini merupakan catalogue raisonne dari semua artikel dalam berbagai majalah, jurnal, dan transaksi perkumpulan-perkumpulan ilmiah yang berkenaan dengan wilayah Belanda di seberang lautan. Karya ini diterbitkan di negeri Belanda antara tahun 1595-1932. Kepustakaan majalah Belanda memuat bahan-bahan rujukan asli secara melimpah ruah. Dalam majalah ilmiah yang daftar namanya terdapat di dalam repertorium, terdapat banyak terjemahan kronik Indonesia, berbagai kumpulan dokumen, dan laporan serta notulen asli dari banyak konperensi dan komisi penyelidik pemerintah.


Description: historiografi indonesia masa kolonial hindia belanda, historiografi masa kolonial, historiografi masa hindia belanda