Pra Sejarah | Paleolithikum (Zaman Batu Tua)

Zaman batu adalah suatu periode ketika peralatan manusia secara dominan terbuat dari batu walaupun ada pula alat-alat penunjang hidup manusia yang terbuat dari kayu ataupun bambu. Namun alat-alat yang terbuat dari kayu atau tulang tersebut tidak meninggalkan bekas sama sekali. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan tersebut tidak tahan lama. Dalam zaman ini alat-alat yang dihasilkan masih sangat kasar (sederhana) karena hanya sekadar memenuhi kebutuhan hidup saja. Zaman batu tua diperkirakan berlangsung kira-kira 600.000 tahun yang lalu, yaitu selama masa pleistosen (diluvium). Pada zaman paleolithikum ini, alat-alat yang mereka hasilkan masih sangat kasar.

Paleolitikum atau zaman batu tua disebut demikian sebab alat-alat batu buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis. Apabila dilihat dari sudut mata pencariannya periode ini disebut masa berburu dan meramu makanan tingkat sederhana. Manusia pendukung zaman ini adalah Pithecantropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus Paleojavanicus dan Homo Soloensis. Fosil-fosil ini ditemukan di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo. Mereka memiliki kebudayaan Pacitan dan Ngandong. Kebudayaan Pacitan pada tahun 1935, Von Koenigswald menemukan alat-alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan. Cara kerjanya digenggam dengan tangan. Kapak ini dikerjaan dengan cara masih sangat kasar. Para ahli menyebut alat pada zaman Paleolithikum dengan nama chopper. Alat ini ditemukan di Lapisan Trinil. Selain di Pacitan, alat-alat dari zaman Paleplithikum ini temukan di daerah Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Selatan).


A. CIRI-CIRI ZAMAN PALEOLITHIKUM
1. Jenis Manusia
Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba hidup pada zaman Paleolitikum adalah Pithecanthropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus paleojavanicus, dan Homo Soliensis. Fosil ini ditemukan di aliran sungai Bengawan Solo.

2. Kebudayaan
Berdasarkan daerah penemuannya maka alat-alat kebudayaan Paleolithikum tersebut dapat dikelompokan menjadi kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.

a. Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935, von Koenigswald menemukan alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan. Kapak genggam itu berbentuk kapak tetapi tidak bertangkai. Kapak ini masih dikerjakan dengan sangat kasar dan belum dihaluskan. Para ahli menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak penetak. Selain di Pacitan alat-alat banyak ditemukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Utara)

b. Kebudayaan Ngandong
Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang, flakes, alat penusuk dari tanduk rusa dan ujung tombak bergigi di daerah Ngandong dan Sidoarjo. Selain itu di dekat Sangiran ditemukan alat sangat kecil dari betuan yang amat indah. Alat ini dinamakan Serbih Pilah, dan banyak ditemukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah seperti kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh penemuan lukisan pada dinding goa seperti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan ditemukan di Goa Leang Pattae (Sulawesi Selatan)

Zaman Paleolithikum ditandai dengan kebudayan manusia yang masih sangat sederhana. Ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman Paleolithikum, yakni:
1. Hidup berpindah-pindah (Nomaden)
2. Berburu (Food Gathering)
3. Menangkap ikan


B. ALAT-ALAT ZAMAN PALEOLITHIKUM
Pada zaman ini alat-alat terbuat dari batu yang masih kasar dan belum dihaluskan. Contoh alat-alat tersebut adalah:

1. Kapak Genggam
kapak genggam
Kapak genggam banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat ini biasanya disebut "chopper" (alat penetak/pemotong)
Alat ini dinamakan kapak genggam karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanyasebagai tempat menggenggam. Kapak genggam berfungsi menggali umbi, memotong, dan menguliti binatang.

2. Kapak Perimbas
kapak perimbas
Kapak perimbas berfungsi untuk merimbas kayu, memahat tulang dan sebagai senjata. Manusia kebudayan Pacitan adalah jenis Pithecanthropus. Alat ini juga ditemukan di Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), lahat, (Sumatra selatan), dan Goa Choukoutieen (Beijing). Alat ini paling banyak ditemukan di daerah Pacitan, Jawa Tengah sehingga oleh Ralp Von Koenigswald disebut kebudayan Pacitan.



3. Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa
alat tulang rusa
Salah satu alat peninggalan zaman paleolithikum yaitu alat dari tulang binatang. Alat-alat dari tulang ini termasuk hasil kebudayaan Ngandong. Kebanyakan alat dari tulang ini berupa alat penusuk (belati) dan ujung tombak bergerigi. Fungsi dari alat ini adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah. Selain itu alat ini juga biasa digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan.








4. Flakes
flakes
Flakes yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon, yang dapat digunakan untuk mengupas makanan. Flakes termasuk hasil kebudayaan Ngandong sama seperti alat-alat dari tulang binatang. Kegunaan alat-alat ini pada umumnya untuk berburu, menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buah-buahan.




Description: paleolithikum zaman batu tua, paleolithikum, zaman batu tua

Historiografi Eropa Kuno

Historiografi Eropa merupakan studi yang sangat kompleks. Mengingat jumlah negara yang termasuk didalamnya begitu banyak, serta periode waktu yang amat luas adalah wujud kekomplekskannya. Historiografi Yunani dan Romawi merupakan dasar dari historiografi Eropa. Sejarah historiografi Eropa akan dilihat sebagai gejala yang terikat oleh waktu (time bound) dan terikat oleh kebudayaan (culture bound) zamannya.

Historiografi Eropa Kuno dipelopori oleh Herodotus dalam bentuk logographoi yang kemudian dikenal dalam bentuk prosa. Perubahan bentuk dari puisi ke prosa ini membuat Herodotus menjadi Bapak Sejarah. Bentuk penulisan logographoi dapat mengubah tradisi yang ada yaitu dari mistis menjadi bentuk rasional.

A. PERKEMBANGAN HISTORIOGRAFI ZAMAN YUNANI KUNO
Penulisan sejarah muncul di Yunani awalnya berbentuk sebuah puisi yang merupakan karya Homer. Karya tersebut dituliskan berdasarkan cerita-cerita lama yang mengandung informasi mengenai kebudayaan dan masyarakat pada zamannya. Pada abad ke-6 SM penulisan sejarah berbentuk prosa baru muncul di Lonia. Hal ini dikarenakan masyarakatnya pada waktu itu memungkinkan perorangan untuk berekspresi. Adanya kebebasan untuk berfikir dan berfilsafat kritis.

Para Sejarawan Yunani pada umumnya berasal dari golongan keluarga yang berada dalam lingkup kekaisaran. Mereka disamping menjadi seorang sejarawan, diantaranya juga sudah ada yang menjalani profesi sebagai guru, dokter, militer, politikus, atau pegawai. Profesi ini tetap mereka jalani baik itu dari sebelum mereka menjadi sejarawan ataupun saat mereka masih menjadi seorang sejarawan. Para Sejarawan pada zaman Yunani ini menulis tentang sejarah lama, kontemporer, ataupun sejarah zamannya sendiri. Lingkup geografinya mencakup Yunani dan sejarah lokal khususnya sejarah Attica. Sejarawan Yunani umumnya menulis atau mengisahkan tentang sejarah masa lampau berdasarkan pada cerita rakyat, kisah-kisah yang disampaikan secara turun-temurun oleh para penulis terdahulu. Pada awalnya tradisi penulisan sejarah pada zaman Yunani kuno adalah apa yang disebut dengan tradisi Homerus.


B. PERKEMBANGAN HISTORIOGRAFI ZAMAN ROMAWI KUNO
Pada masa Romawi Kuno para sejarawan selain menjadi seorang penulis, pekerjaan utama mereka juga ada yang bekerja sebagai perwira tentara, pegawai pemerintahan, dan profesi lainnya. Mereka akan menulis jika sudah berhenti bekerja dan memperoleh kebebasan untuk menulis tanpa adanya hambatan. Para Sejarawan itu menulis sesuai dengan apa yang menjadi pengalaman atau apa yang mereka kerjakan.

Pada zaman Romawi, Sejarawan sangat mengkhayati dan menyukai kesustraan. Mereka merupakan sastrawan dan pencerita yang baik sehingga dapat menghasilkan sejarah yang retoris, dramatis, dan psikologis. Penulis sejarah zaman Romawi memiliki kebiasaan untuk membaca naskah secara terbuka untuk umum terlebih dahulu sebelum melakukan publikasi sejarah. Para Sejarawan Yunani kebanyakan tertarik pada hal-hal yang bersifat kosmopolitan berbeda dengan penulis zaman Romawi yang hanya mengenal satu tema yakni Roma. Jadi, secara umum perkembangan historiografi zaman Romawi berjalan sesuai dengan sejarah perkembangan kekaisarannya. Karya-karya yang dihasilkan pada zaman ini banyak terkait dengan sejarah Romawi sejak kemunculan sampai kepada keruntuhannya.

Generasi awal dari para sejarawan Romawi adalah Pictor, dan Cato. Sayangnya tentang siapa mereka sedikit sekali diketahui orang. Julius Caesar, salah seorang negarawan dan Panglima perang Romawi yang benar-benar sukses, dan sekaligus pula penulis sejarah yang masyhur. Pada masa Julius Caesar (100-44 SM) penulisan sejarahnya mulai berbeda pada segi bahasa. Bahsa Romawi mulai digunakan. Memang mula-mula, bahasa Yunani masih digunakan dan model tulisan sejarahnya-pun masih menerapkan sistem Yunani.

Dalam Commentaries on the Gallic Wears, Julius Caesar berhasil mengetengahkan topik yang disajikannya secara jelas, obyektif serta cermat, sekalipun kdang-kadang dia menyebutkan reputasi yang telah dicapainya. Sayangnya nasib tragis terjadi pada akhir hayatnya, dia dibunuh pada 44 SM. Pembunuhan politik ini telah melahirkan perang saudara di Romawi yang baru berakhir setelah berlangsung selama 10 tahun.


C. SEJARAWAN MASA EROPA KUNO
1. Homer (850 SM)
homer
Homer merupakan sastrawan masyhur Yunani yang terkenal dengan karya klasiknya Illiad dan Odyssey. Dia telah dianggap sebagai pelopor sejarawan Yunani. Sebenarnya buku Illiad dan Odyssey yang bertemakan epik, sulit untuk dimasukkan dalam konteks buku sejarah yang baik. Mungkin anggapan tersebut karena Homer telah memberikan keterangan mengenai sejarah zamannya atau setidaknya seseorang setelah membaca tulisan tersebut akan bangkit keinginannya untuk mengetahui sejarah Yunani selanjutnya.



2. Herodotus (490 SM - 430 SM
herodotus
Herodotus terlahir dalam keluarga aristokratik Halicarnassus, di barat daya Asia Kecil. Ia hidup pada jaman keemasan kebudayaan Yunani khususnya Athena, yaitu suatu periode atau masa damai antara perang-perang Persia dan Perang Peloposesia. Masa itu adalah masa puncak perkembangan Yunani, yang akhirnya juga dikenal sebagai kebudayaan klasik, dan berkembang ke seluruh Eropa dan dunia. Semua sejarah kebudayaan barat seperti sastra, hukum, sosial, ekonomi dan sebagainya bisa dianggap adobsi dari Yunani dan Romawi.

Herodotus adalah pelopor perubahan bentuk penulisan dalam bentuk syair atau puisi menjadi prosa (logographoi). Selain itu, ia berusaha menghilangkan kesan mitos pada penulisan sejarahnya. Sehingga beliau mendapat gelar bapak sejarah. Selain tulisannya merupakan karya sejarah, ia juga menulis tentang antropologi dan sosiologi. Karya klasik Herodotus, "History of the Persian Wars", menceritakan tentang perang Yunani dan Persia pada 478 SM yang dimenangkan oleh Yunani. Dalam buku tersebut Herodotus berhasil menyakinkan pembaca perlunya dianalisa secara mendalam masing-masing budaya.

Kelemahan dari penulisan Herodotus yakni kurang daya kritisnya terhadap suatu permasalahan, dapat dilihat dari tidak adanya seleksi yang dilakukannya dalam penerimaan hal-hal yang berkaitan dengan dewa-dewa, mitos dan legenda yang ada dalam tulisannya. Dia juga dianggap tidak patriotis, karena dia tidak hanya memuji Yunani namun juga Persia. Namun demikian, Herodotus berhasil menulis kisah nyata, sebagian besar sumbernya didapat dari penyelidikan langsung dan hasil catatan-catatan perjalanannya dalam mengikuti perang Yunani tersebut serta dapat dipercaya. Berbeda dengan pendahulu dan teman-teman sejamannya yang banyak menulis cerita-cerita mitos dan kepahlawanan, Herodotus lebih tertarik pada sejarah manusia, dalam karyanya dia bisa dianggap sebagai awal atau perintisan penulisan sejarah ilmiah.

3. Thucydides (456 SM - 404 SM)
thucydides
Selain Herodotus ada sejarawan Yunani lain yang terkenal yaitu Thucydides. Thucydides menonjol dalam hal metode penelitiannya maupu kualitas hasil dari karyanya. Kelebihan Thucydides dibandingkan Herodotus adalah dalam karyanya yang telah mengembangkan studi mengenai arkeologi (ilmu purbakala). Disamping itu Thucydides juga melakukan penelitian mengenai perilaku dari para politis dan orang-orang militer dalam krisis militer. Dengan mengutamakan aspek-aspek politik dan militer tersebur Thucydides telah berusaha memperoleh fakta-fakta secara yang lebih kritis dengan menjauhi semua hal-hal yang berbau mitos. Dia dianggap sebagai sejarawan yang menggunakan metode kritis pertama di dunia. Ia juga sering disebut bapak sejarah politik karena tulisannya yang kental dengan aroma militer dan politik, dan wajar saja karena karirnya selain sebagai sejarawan, dia juga sebagai jendral dan politisi

Salah satu karya Thucydides yaitu karyanya tentang perang Athena-Sparta sebagai representasi Demokrasi vs Tirani. Menurut laporannya, perang tersebut dimenangkan oleh Sparta. Selain itu, ia menulis Peloponesian War (431-404 SM) dapat dianggap sebagai laporan perang oleh saksi mata yang tidak memihak. Sekalipun sejarah yang ditulisnya terbatas pada politik, diplomasi, dan perang, tetapi tetap akurat dan menghindari penjelasan supernatural. Karya Thucydides memberikan sumbangan besar dalam ilmu sejarah. Thucydides telah berusaha untuk menggunakan kritik sumber dan metode sejarah dalam penulisannya. Thucydides beranggapan bahwa kekuatan dalam penulisan sejarah tergantung pada data yang akurat dan relevansi dengan menyeleksi berbagai sumber, sehingga diharapkan tulisannya nanti akan menjadi sebuah karya sejarah kritis.

4. Polybius (198 SM - 125 SM)
polybius
Polybius adalah sejarawan yang banyak terpengaruh oleh Thucydides. Ia adalah sejarawan masa peralihan. Ia adalah orang Yunani yang banyak dibesarkan di Roma karena pada masa-masa itu terjadi perpindahan kekuasaan dari Yunani ke tangan Roma. Polybius berjasa dalam mengembangkan metode kritis dalam penulisan sejarah. Jika Herodotus kebanyakan menulis tentang periode awal Yunani, maka Polybius banyak menulis tentang perpindahan kekuasaan dari Yunani ke Romawi. Sama halnya dengan Thucydides, ia juga melihat sejarah itu pragmatis, sejarah adalah filsafat yang mengajar melalui contoh. Ia banyak menulis sejarah kontemporer pada waktu itu. Teori besarnya pada sejarah politik adalah siklus pemerintahan yaitu, monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, anarki. Polybius membedakan analisis dalam tiga unsur, yaitu awal (archai), dalih (Prophaseis) dan sebab (aitiai).

5. Julius Caesar (101 SM - 44 SM)
julius caesar
Julius Caesar adalah Jendral Romawi yang mengalahkan Gaul. Ia adalah seorang jendral yang mendapatkan pendidikan dalam bidang sejarah, filsafat, retorika dan militer. Masa Julius Caesar, penulisan sejarahnya mulai berbeda pada segi bahasa. Bahasa Romawi mulai digunakan dalam penulisan sejarah. Meskipun pada awalnya bahasa Yunani masih digunakan dan model tulisan sejarahnya-pun masih menerapkan sistem Yunani. Julius Caesar merupakan penulis "Commentaries on Gallic" Wars yaitu memoir yang melukiskan suku Gallia, dan Civil War adalah pembelaannya mengapa perang itu dilakukan. Lukisannya tentang Gallia menjadi sumber yang amat penting tentang adat istiadat bangsa itu. Maka, tulisannya seperti salah satu laporan antropologis. Komentar-komentarnya berdasar pada keakuratan, tidak berat sebelah, dan lebih dari sebuah narasi kemenangan pribadinya. Karenanya, ia menjadi seorang tokoh sejarah dan penulis sejarah.

6. Titus Livius (59 SM - 17 M)
titus livius
Titus Livius lahir di Padua, tahun 59 SM. Livius merupakan sejarawan Romawi, sehingga karya-karya yang dihasilkan berkisar pada imperium Romawi. Karyanya yang terkenal adalah “History of Rome”. Livius merupakan orang pertama yang menggunakan imajinasi dalam karya-karyanya. Dalam penulisannya, Livius mengorbankan kebenaran sejarah demi sebuah retorika, hal ini dikarenakan dia telah menulis sejarah Romawi sebagai sebuah dunia dengan segala semangat patriotismenya. Kisah tentang berdirinya kota Roma menjadi campuran antara fantasi dan fakta.

7. Publius Cornelius Tacitus (56 M - 117 M)
publius cornelius tacitus
Tacitus adalah sejarawan Romawi. Ia menulis Annals Histories dan Germania. Tulisannya berada di tengah-tengah antara Livius yang penuh retorika dan Polybius yang cenderung pada sejarah kritis. Dia berusaha mengemukakan “sebab moral” keruntuhan Romawi. Tacitus berusaha melihat ke belakang bukan ke depan untuk melihat akar-akar persoalan politik yang terjadi di tahun-tahun awal Imperium Romawi. Selain itu, dia juga menulis tentang bangsa Jerman dan menjadi satu-satunya literatur tentang Jerman pada waktu itu. Banyak sejarawan mengakui bahwa tulisan Tacitus memiliki kualitas tulisan sastra yang cukup tinggi. Dia sangat rajin dalam menginvestigasi dokumen dan sumber lainnya, dan akurat dalam penilaiannya pada tokoh-tokoh yang terlibat dan kejadiannya. Dia mengisahkan secara detail mengenai sebuah kerajaan yang tengah bergerak menghancurkan dirinya sendiri. Banyak orang mengatakan bahwa Tacitus merupakan “suara otentik Roma kuno dan pelukis besar zaman kuno”. Setiap halaman dari tulisannya menunjukkan kemampuan retorik. Tacitus memakai orasi langsung dan orasi buatan untuk melukiskan karakter, meringkaskan pemikiran kelompok-kelompok, menyampaikan rumor masyarakat, memperkuat penegasan dan posisi moral politik.


D. KARAKTERISTIK HISTORIOGRAFI EROPA KUNO
Historiografi Eropa Kuno sebagai awal perkembangan penulisan sejarah di eropa mempunyai ciri khas yang unik. Penulisan sejarah pada masa Eropa kuno ini bersifat perkembangan. Sejarawan yang pada setiap periode waktunya mengungkapkan pada penulisan sejarahnya dengan orientasi yang berbeda. Secara perkembangan, Eropa kuno yang ditandai dengan era Yunani dan Romawi telah menunjukkan pemikiran yang brilian pada perkembangan literatur, khususnya literature sejarah.

Pada orientasinya, peradaban Eropa kuno memang berkaitan pada mitos-mitos dewanya dan kekuatan supernatural pada cerita-cerita yang dibawakan, namun hal tersebut tidak mempengaruhi penulisan sejarah pada masa itu. Usaha memberikan sentuhan realistis terus dilakukan terutama pada masa Thucydides yang setegak-tegaknya menggunakan metode sejarah kritis, kecuali pada masa awal kemunculan penulisan sejarah pada masa Homer yang penceritaannya berupa syair dan puisi. Namun, hal tersebut memang kurang bisa terhindarkan pada masa setelah Homer, penulisan sejarah masa itu berusaha menghindarkan cerita mitos dan supernatural. Orientasi lain muncul ketika pada penulisan sejarahnya banyak mengandung unsur-unsur kepahlawanan karena sejarah yang ditulis berdasar pada orientasi militer-politik yang kental dengan retorika perang atau gagasan politik.

Tema yang dominan dalam historiografi eropa kuno adalah cerita kepahlawanan. Orientasi tulisan tersebut dipengaruhi karena pada masa itu merupakan sekitaran perang dan juga perjuangan imperium besar yang ada pada masa-masa munculnya peradaban-peradaban kuno di dunia. Sejarawan yang menulis kisah-kisah perjuangan tersebut kebanyakan menjadi orang yang terlibat dalam perang, seperti Thucidides dan Julius Caesar, atau hanya sekedar pengamat suatu peristiwa.

Berdasarkan penyajiannya penulisan awal historiografi eropa kuno dalam bentuk puisi atau syair seperti seperti dalam tulisan Homer. Namun dalam perkembangannya tulisan tersebut lambat laun berubah menjadi bentuk prosa. Herodotus mengubah model bentuk syair atau puisi tersebut pada bentuk prosa. Kemudian pada masa Thucidides berkembang lebih kompleks dengan pengolahan data dengan kritik sumber sehingga menjadi sejarah kritis yang pertama kali. Tulisan tersebut kemudian dianggap sebagai dokumen.

Seiring berjalannya waktu, tradisi penulisan di kawasan Yunani juga ikut mengalami perkembangan. Mulai dari tradisi penulisan menurut Homer yang berkutat pada mitologi dan epos, kemudian muncul Lolograf. Logograaf pada zaman Yunani biasanya digunakan untuk sebutan para penulis prosa, para penulis pidato, ataupun untuk para penulis sejarah yang kebenaran faktanya kurang bisa dipertanggungjawabkan. Para penulis sejarah yang pertama adalah mereka yang mengumpulkan semua hal yang ingin mereka ketahui tanpa melakukan suatu kritik sumber, berbagai hal yang khas dan menarik perhatian seperti dongeng, sejarah pendirian kota-kota, kejadian-kejadian yang aneh, cerita mengenai keadaan geografis atau etnografi dari negara-negara asing. Para Logograaf itu diantaranya Cadmus, Dionysius, Charon, Acusilaus, namun dari semua penulis sejarah tersebut yang paling terkenal Hecatacus dan Hellanicus dari Mytilene (Lesbos). Beberapa karya Hellanicus diantaranya berbentuk mitografi mengenai awal adanya manusia dan mengenai sejarah kota Troya.


C. KELEBIHAN dan KEKURANGAN HISTORIOGRAFI EROPA KUNO
Karya pada masa apapun dan siapa yang membuat sudah pasti akan menampakkan kekurangan maupun kelebihannya masing-masing. Hal ini juga tercermin pada masa historiografi eropa kuno. Masa-masa peradaban Yunani dan Romawi memiliki kriteria tertentu yang dianggap sebagai ide-ide yang sekarang digunakan kebanyakan orang. Ide-ide tersebut berasal dari berbagai pemikiran yang muncul pada masa itu. Hal itu pula yang mencerminkan sifat-sifat yang kini dianggap paling mutakhir pada perkembangan zaman ini oleh kebanyakan orang. Salah satunya yaitu tentang nasionalisme. Rasionalistis dan demokrasi dicoba dipakai sebagai pendidikan bangsa Yunani dan Romawi pada perkembangnnya. Jika dilihat dari segi penulisannya, historiografi eropa kuno menampakkan usaha interpetasi pada penggalian sumber seperti yang dilakukan Herodotus. Ia mencoba menampakkan sejarah yang tidak berat sebelah. Pada masa Thucydides dan Polybius, metode sejarah kritis berusaha diterapkan. Hal tersebut yang menjadi cikal bakal penulisan sejarah hingga kini. Hal tersebut juga yang menampakkan kemajuan perkembangan historiografi pada umumnya.

Beberapa kekurangan yang ada dalam historiografi eropa kuno bisa dilihat dari usaha untuk menghilangkan sifat berat sebelah, namun karya-karya pada masa itu tetap ada unsur keterpihakkan juga. Penulis sejarah yang mengajukkan nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme justru malah menampakkan mengagungkan bangsa yang sedang ditulisnya. Pasalnya, hal ini terlihat pada posisi sejarawan yang menulis cerita tersebut. Telah disinggung bahwa kebanyakan penulisnya adalah orang yang terlibat dalam perang. Perang tersebut adalah peristiwa yang mereka tulis, sehingga kesan bangga akan perang yang dimenangkan pada peristiwa tersebut jelas tampak pada penulisan sejarah Eropa kuno. Lain lagi pada kasus Livius yang banyak mengorbankan kebenaran demi sebuah retorika penulisan yang luar biasa berlebihan.


Description: historiografi eropa kuno, historiografi yunani kuno, historiografi romawi kuno

Sistem Sewa Tanah Masa Raffles

Kemenangan Inggris dalam perang melawan Belanda-Prancis, menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara. Kekuasaan Inggris di Indonesia mencakup Jawa, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Madura, dan Sunda Kecil. Pusat pemerintahan Inggris atas Indonesia berkedudukan di Madras, India dengan Lord Minto sebagai gubernur jenderal. Daerah bekas jajahan Belanda dipimpin oleh seorang letnan gubernur yang bernama Stamford Raffles (1811-1816).

Selama pemerintahannya Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di Indonesia. Pembaharuan yang dilakukan Raffles di Indonesia secara teoritis mirip dengan pemikiran Dirk van Hogendorp pada tahun 1799. Inti dari pemikiran kedua orang tersebut adalah kebebasan berusaha bagi setiap orang, dan pemerintahan hanya berhak menarik pajak tanah dari penggarap. Pemerintahan dijalankan untuk mencapai kesejahteraan umum, dan kesadaran baru bahwa baik serikat dagang, terlebih kekuasaan negara tidak mungkin bertahan hidup dengan memeras masyarakatnya.

Gagasan Raffles mengenai sewa tanah ini dilatar belakangi oleh keadaan Jawa yang tidak memuaskan dan tidak adanya kebebasan berusaha. Gagasan dan cita-cita Raffles merupakan pengaruh dari Revolusi Perancis yaitu prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang semula tidak ada pada masa Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda, para pedagang pribumi dan Eropa mengalami kesulitan dalam hal berdagang. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem monopoli yang diterapkan pemerintah Belanda. Sistem monopoli yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda ini pada masa Raffles diganti dengan perdagangan bebas.

Selain itu adanya paksaan dari pemerintah Belanda kepada para petani untuk menyediakan barang dan jasa sesuai kebutuhan Belanda, mengakibatkan matinya daya usaha rakyat. Oleh karena itu, pada masa Raffles inilah masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam, dan penggunaan hasil usahanya sendiri. Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.

Tidak adanya kepastian hukum pada masa pemerintahan Belanda, telah mengakibatkan terjadinya kekacauan di berbagai daerah. Tidak adanya perlindungan hukum untuk para para penduduk mengakibatkan adanya sikap sewenang-wenang para penguasa pribumi. Tidak adanya jaminan bagi para petani mengakibatkan hilangnya dorongan untuk maju. Sesuai pernyataan Hogendorf, ia tidak percaya pendapat orang-orang Eropa tentang kemalasan orang Jawa, karena apabila diberi kebebasan menanam dan menjual hasilnya, petani-petani Jawa akan terdorong untuk menghasilkan lebih banyak dari pada yang dicapai dibawah masa Belanda.

Jika kebebasan dan kepastian hukum dapat diwujudkan, untuk mencapai kemakmuran orang-orang Jawa yang dahulunya tertindas akan dapat berkembang. Masyarakat pun dengan keinginannya sendiri akan menanam tanaman-tanaman yang diperlukan oleh perdagangan di Eropa. Semua ini pada akhirnya juga akan menguntungkan bagi perekonomian pihak Inggris.

Stelsel yang diterapkan pemerintah Belanda sangat ditentang oleh Raffles, hal ini dikarenakan munculnya penindasan dan menghilangkan dorongan untuk mengembangkan kerajinan. Secara makro kondisi ini akan menyebabkan rendahnya pendapatan negara atau negara mengalami kerugian. Pada hakikatnya pemerintahan Raffles menginginkan terciptanya suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan pemerintah Belanda.

raffles
Gambar: Thomas Stamford Raffles


Dalam pemerintahannya, Raffles menghendaki adanya sitem sewa tanah atau dikenal jugadengan sistem pajak bumi dengan istilah landrente. Dalam usahanya untuk melaksanakan sisten sewa tanah ini Raffles berpegang pada tiga azas, yaitu:
  1. Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu jenis tanaman, melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.
  2. Pengawasan tertinggi dan langsung dilakukan oleh pemerintah atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan dan sewanya tanpa perantara bupati-bupati, yang dikerjakan selanjutnya bagi mereka adalah terbatas pada pekerjaan-pekerjaan umum
  3. Menyewakan tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung dalam persil-persil besar atau kecil, menurut keadaan setempat, berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu yang terbatas.

Adanya suatu aparatur pemerintahan yang terdiri dari orang-orang Eropa dan mengesampingkan peranan penguasa pribumi (para bupati), menurut Raffles hal ini adalah salah satu tindakan penghapusan feodalisme Jawa. Para bupati dialih fungsinya menjadi pengawas ketertiban dan tidak boleh ikut dalam pemungutan pajak tanah (landrente). Tentang persewaan tanah, menurut Raffles pemerintah (gubernemen) sebagai pengganti raja-raja Indonesia merupakan pemilik semua tanah-tanah sehingga dengan demikian mereka boleh menyewakan tanah-tanah tersebut, yaitu dengan menuntut sewa tanah berupa pajak tanah maka pendapat negara akan baik.

Untuk menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas,yaitu:
  1. Kelas I, yaitu tanah yang subur, dikenakan pajak setengah dari hasil bruto.
  2. Kelas II, yaitu tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga darihasil bruto.
  3. Kelas III, yaitu tanah tandus, dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto.


A. PELAKSANAAN SEWA TANAH
Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816) oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles, yang banyak menghinpun gagasan sewa tanah dari sistem pendapatan dari tanah India-Inggris. Sewa tanah didasarkan pada pemikiran pokok mengenai hak penguasa sebagai pemilik semua tanah yang ada.

Thomas Stamford Raffles menyebut Sistem Sewa tanah dengan istilah landrente. Peter Boomgard (2004:57) menyatakan bahwa: Kita perlu membedakan antara landrente sebagai suatu pajak bumi atau lebihtepat pajak hasil tanah, yang diperkenalkan tahun 1813 dan masih terus dipungut pada akhir periode colonial, dan andrente sebagai suatu sistem (Belanda: Landrente Stelsel), yang berlaku antara tahun 1813 sampai 1830.

Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggungjawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. sistem sewa tanah ini pada mulanya dapat dibayar dengan uang atau barang, tetapi selanjutnya pembayarannya menggunakan uang. Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan, dan dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati.

Kepada para petani, Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan berusaha melalui sistem sewa tanah tersebut. Kebijakan Gubernur Jenderal Stamford Raffles ini, pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis dengan semboyannya mengenai “Libertie (kebebasan), Egaliie (persamaan), dan Franternitie (persaudaraan)”. Hal tersebut membuat sistem liberal diterapkan dalam sewa tanah, di mana unsur-unsur kerjasama dengan raja-raja dan para bupati mulai diminimalisir keberadaannya.

Sehingga hal tersebut berpengaruh pada perangkat pelaksana dalam sewa tanah, di mana Gubernur Jenderal Stamford Raffles banyak memanfaatkan colonial (Inggris) sebagai perangkat (struktur pelaksana) sewa tanah, dari pemungutan sampai pada pengadministrasian sewa tanah. Meskipun keberadaan dari para bupati sebagai pemungut pajak telah dihapuskan, namun sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral (struktur) dari pemerintahan colonial, dengan melaksanakan proyek-proyek pekerjaan umum untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.

Tiga aspek pelaksanaan sistem sewa tanah:
  1. Penyelenggaraan sistem pemerintahan atas dasar modern
    Pergantian dari sistem pemerintahan yang tidak langsung yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh para raja-raja dan kepala desa. Penggantian pemerintahan tersebut berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala tradisional sangat dikurangi dan sumber-sumber penghasilan tradisional mereka dikurangi ataupun ditiadakan. Kemudian fungsi para pemimpin tradisional tersebut digantikan oleh para pegawai-pegawai Eropa.
  2. Pelaksanaan pemungutan sewa
    Pelaksanaan pemungutan sewa selama pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam artian pajak tersebut dipungut bukan dasar perhitungan perorangan tapi seluruh desa. Pada masa sewa tanah hal ini digantikan menjadi pajak adalah kewajiban tiap-tiap orang bukan seluruh desa.
  3. Pananaman tanaman dagangan untuk dieksport
    Pada masa sewa tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnya tanaman kopi yang merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masa sistem sewa tanah mengalami kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasar bebas, karena para petani dibebaskan menjual sendiri tanaman yang mereka tanam.

Dua hal yang ingin dicapai oleh raffles melalui sistem sewa tanah ini adalah:
  1. Memberikan kebebasan berusaha kepada para petani Jawa melalui pajak tanah.
  2. Mengefektifkan sistem administrasi Eropa yang berarti penduduk pribumi akan mengenal ide-ide Eropa mengenai kejujuran, ekonomi, dan keadilan.

Pada sistem sewa tanah rakyat tetap saja harus membayar pajak kepada pemerintah. Rakyat diposisikan sebagai penyewa tanah, karena tanah adalah milik pemerintah sehingga untuk memanfaatkan tanah tersebut untuk menghasilkan tanaman yang nantinya akan dijual dan uang yang didapatkan sebagian kemudian digunakan untuk membayar pajak dan sewa tanah tersebut. Pada masa ini sistem feodalisme dikurangi, sehingga para kepala adat yang dahulunya memdapatkan hak-hak atau pendapatan yang bisa dikatakan irasional, kemudian dikurangi.

Setiap orang dibebaskan menanam apa saja untuk tanaman ekspor, dan bebas menjualnya kepada siapa saja di pasar yang telah disediakan oleh pemerintah. Tetapi karena kecenderungan rakyat yang telah terbiasa dengan tanam paksa dimana mereka hanya menanam saja, untuk mernjual tanaman yang mereka tanam tentu saja mengalami kesulitan, sehingga mereka kemudian menyerahkan urusan menjual hasil pertanian kepada para kepala-kepala desa untuk menjualnya di pasar bebas. Tentu saja hal ini berakibat pada banyaknya korupsi dan penyelewengan yang dilakukan oleh para kepala desa tersebut.


C. TANAMAN DAN SISTEM PERDAGANGAN
Pada sistem sewa tanah, petani diberi kebebasan untuk menanam apapun yang mereka kehendaki. Namun gantinya rakyat mulai dibebani dengan sistem pajak. Kebebasan untuk menanam tanaman tersebut tidak dapat dilaksanakan di semua daerah di pulau Jawa. Daerah-daerah milik swasta atau tanah partikelir dan daerah Parahyangan masih menggunakan sistem tanam wajib. Pelaksanaannya di Parahyangan, Inggris enggan untuk mengganti penanaman kopi karena merupakan sumber keuntungan bagi kas negara.

tanaman kopi
Gambar: Tanaman Kopi


Walaupun demikian pada sistem sewa tanah tanaman kopi mengalami penurunan hasil. Selain kopi, tanaman tebu juga mengalami kemunduran yang sama, sehingga pada sistem sewa tanah pemerintah hanya mampu mengekspor kopi dan beras dalam jumlah yang terbatas. Penurunan hasil-hasil tanaman ini dikarenakan petani Indonesia tidak begitu mengenal tanaman ekspor.

tanaman tebu
Gambar: Tanaman Tebu


Dalam sistem sewa tanah, rakyat selain diberikan kebebasan untuk menanam, mereka juga diberi kebebasan untuk melakukan perdagangan atau menjual tanaman mereka sendiri di pasaran bebas. Sistem perdagangan ini tidak efektif karena penjualan sering diserahkan rakyat kepada kepala desa mereka. Penyerahan penjualan kepada kepala desa dikarenakan kurang pengalamannya petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasaran bebas. hal ini mengakibatkan kepala-kepala desa sering melakukan penipuan terhadap petani maupun pembeli, sehingga membuat pemerintah terpaksa ikut campur tangan dengan mengadakan penanaman paksa bagi tanaman perdagangan.


D. KEGAGALAN SISTEM SEWA TANAH
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilakukan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles pada sistem pertanahan di Indonesia menemui beberapa kegagalan. Sistem sewa tanah yang diberlakukan ternyata memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan milik penduduk pribumi di Indonesia. Sistem sewa tanah tersebut tidak berjalan lama, hal itu di sebabkan beberapa faktor dan mendorong sistem tersebut untuk tumbang kemudian gagal dalam peranannya mengembangkan kejayaan kolonisasi Inggris di Indonesia. Beberapa faktor kegagalan sistem sewa tanah antara lain ialah:
  1. Keuangan negara yang terbatas, memberikan dampak pada minimnya pengembangan pertanian.
  2. Pegawai-pegawai negara yang cakap jumlahnya cukup sedikit, selain karena hanya diduduki oleh para kalangan pemerinah Inggris sendiri, pegawai yang jumlahnya sedikit tersebut kurang berpengalaman dalam mengelola sistem sewa tanah tersebut.
  3. Masyarakat Indonesia pada masa itu belum mengenal perdagangan eksport seperti India yang pernah mengalami sistem sewa tanah dari penjajahan Inggris. Dimana pada abad ke-9, masyarakat Jawa masih mengenal sistem pertanian sederhana, dan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sehingga penerapan sistem sewa tanah sulit diberlakukan karena motifasi masyarakat untuk meningkatkan produksifitas pertaniannya dalam penjualan ke pasar bebas belum disadari betul.
  4. Masyarakat Indonesia terutama di desa masih terikat dengan feodalisme dan belum mengenal ekonomi uang, sehingga motifasi masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari produksifitas hasil pertanian belum disadari betul.
  5. Pajak tanah yang terlalu tinggi, sehingga banyak tanah yang terlantar tidak di garap, dan dapat menurunkan produksifitas hasil pertanian.
  6. Adanya pegawai yang bertindak sewenang-wenang dan korup.
  7. Singkatnya masa jabatan Raffles yang hanya bertahan lima tahun, sehingga ia belum sempat memperbaiki kelemahan dan penyimpangan dalam sistem sewa tanah.

Secara garis besar kegagalan Raffles dalam sistem sewa tanah di Jawa terkendala akan susunan kebiasaan masyarakat Indonesia sendiri. Dimana Raffles memberlakukan sistem yang sama antara India yang lebih maju dalam perekonomiannya pada Indonesia yang masa itu masi cukup sederhana dimana sifat ekonomi desa di Jawa yang bersifat self suffcient.


Description: sistem sewa tanah masa raffles, sistem sewa tanah masa kolonial, sewa tanah raffles

Ketika Pendidikan Menjadi Hal Menakutkan

Ketika Pendidikan Menjadi Hal Menakutkan

Oleh Ivan Sujatmoko


“Pendidikan adalah segala daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya”
(Ki Hajar Dewantara)


Berbicara tentang pendidikan di Indonesia pada saat ini, tentu tak akan lepas dengan sebuah momen menjelang kelulusan yang bernama Ujian Nasional (UN). Seperti kita ketahui bersama bahwasanya Ujian Nasional merupakan standar sekolah dalam menentukan apakah seorang siswa itu lulus dari satuan pendidikan atau tidak. Ujian Nasional menjadi tolak ukur kemampuan siswa setelah mereka melakukan kegiatan pembelajaran selama tiga tahun.

Beberapa bulan yang lalu, siswa-siswa SMA kelas 12 di negara kita disibukkan dengan acara nasional yang rutin diselenggarakan tiap tahun itu. Hampir sekitar empat hari mereka berjuang melawan soal-soal Ujian Nasional demi sebuah kelulusan. Perjuangan mereka selama hampir tiga tahun dalam proses pembelajaran seakan takkan ada artinya lagi ketika Ujian Nasional-lah yang menjadi hakimnya kini. Rasanya tak adil untuk mereka yang telah menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk pendidikan selama 3 tahun harus gagal karena sosok Ujian Nasional.

Perasaan takut, cemas, dan khawatir bercampur menjadi satu kesatuan yang menyelimuti hati dan fikiran selama masa pengadilan itu. Berharap materi yang mereka hafalkan sebelumnya keluar dalam soal. Berharap ada teman yang berbaik hati mau memberikan jawaban. Berharap sang pengawas tidak menegur ketika nanti mereka mencontek. Begitu banyak mereka berharap untuk memenangkan pertarungan melawan soal-soal Ujian Nasional ini.

Kepala sekolah dan guru mata pelajaran pun tak kalah khawatirnya. Mereka berharap-harap cemas, apakah siswa mereka bisa lulus semua dalam Ujian Nasional atau tidak. Nama baik sekolah menjadi hal yang dipertaruhkan jikalau siswa-siswa di sekolah mereka banyak yang gagal nantinya. Hal itulah yang menjadikan tingkat ketakutan dan kekhawatiran kepala sekolah dan guru sejalan dengan apa yang dirasakan para siswanya.


Kecurangan dan ketidakjurjuran kini menjadi hal yang biasa dalam Ujian Nasional. Kondisi siswa yang merasa tertekan menjadikan mereka menghalalkan segala cara untuk menghadapi soal Ujian Nasional. Mulai dari mencontek secara langsung ke teman, mencontek lewat handphone, melalui media internet dan yang lebih ekstrim lagi yaitu membeli jawaban dari oknum-oknum tertentu dengan harga yang tentu saja tidak murah. Rasa ketakutan yang berlebih menjadikan tingkat kecurangan dan ketidakjujuran pun turut meningkat.

Beberapa bulan menjelang berlangsungnya Ujian Nasional para siswa mulai sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi masa penghakiman ini. Persiapan benar-benar dilakukan secara matang layaknya para tentara yang akan menghadapi perang. Berbagai cara mereka lakukan demi kesuksesan menjalani UN. Cara-cara itu pun bervariatif, baik cara-cara yang bisa dipandang positif maupun negatif sekalipun mereka lakukan.

Kebanyakan para siswa mengikuti jam tambahan yang disediakan sekolah untuk mata pelajaran yang di UN-kan. Seperti pelajaran matematika, bahasa inggris, bahasa Indonesia, dan lainnya. Tidak cukup dengan hal itu, biasanya para siswa yang mempunyai orang tua berpenghasilan lebih, juga akan mengikuti les tambahan di lembaga-lembaga pendidikan swasta. Waktu, tenaga, fikiran, dan uang harus rela dikorbankan demi Ujian Nasional. Bahkan mata pelajaran yang tak ikut di UN-kan pun turut menjadi korban keganasan Ujian Nasional. Sekolah mengurangi jam pelajaran untuk mata pelajaran yang tak di UN-kan dan memindahkan jam tersebut untuk mata pelajaran matematika dan kawan-kawan.

Tidak hanya cara-cara yang halal. Cara-cara yang kotor pun terkadang menjadi pilihan yang menarik bagi sebagaian siswa yang akan menjalani masa penghakiman itu. Seperti pengalaman saya diwaktu yang lalu, banyak teman-teman saya yang iuran sejumlah uang untuk membeli jawaban saat Ujian Nasional besok. Entah siapa yang menjual jawaban tersebut, entah jawaban itu nantinya benar atau salah yang pasti mereka langsung mempercayainya akibat dari rasa ketakutan yang sudah diluar batas. Lebih lucu lagi, ada teman saya waktu itu pergi ke dukun untuk meminta jimat agar penjaga ruang Ujian Nasional tidak mengetahui dirinya saat dia sedang mencontek. Sungguh gambaran nyata bahwa pendidikan yang seharusnya menjadikan logika agar berjalan malah justru sebaliknya yang terjadi. Lagi-lagi, rasa takut yang banyak berperan disini.

Sehari menjelang UN, pemerintah mulai mendistribusikan soal-soal untuk menghakimi siswa ke sekolah-sekolah. Kini tak hanya para siswa saja yang disibukkan oleh Ujian Nasional. ‘Ksatria Berbaju Coklat’ pun kini mulai beraksi untuk mengamankan proses pendistribusian soal dan menjaga soal-soal tersebut jagan sampai bocor sebelum waktunya. Gambaran betapa berharganya soal Ujian Nasional dibandingkan dengan hakekat pendidikan itu sendiri.

Ketakutan ternyata tak hanya melanda siswa peserta Ujian Nasional. Pemerintah sendiri pun mengalami ketakutan juga. Mereka takut terjadi kebocoran soal-soal untuk Ujian Nasional tersebut. Karena itulah ‘Ksatria Berbaju Coklat’ diturunkan untuk menangani rasa takut itu. Sungguh aneh dan tidak lucu ketika ‘Sang Pahlawan Kebajikan’ kini turut ikut campur dalam urusan pendidikan. Permasalahan dalam pendidikan kini tak jauh beda dengan masalah tindakan kriminal.

Mungkin begitulah gambaran nyata, ketika pendidikan menjadi hal menakutkan. Pendidikan tak lagi bersifat humanis, tak lagi tentang sebuah proses dan tak lagi dalam tujuan yang sebenarnya. Berdasarkan fakta-fakta yang ada dilapangan tersebut, masih pantaskah Ujian Nasional menjadi sang pengadil perjuangan siswa selama tiga tahun itu?

Yogyakarta, 2 Mei 2012
Tulisan ini ditulis dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional Indonesia yang jatuh tepat pada hari ini 2 Mei 2012.