Historiografi Afrika

Perkembangan historiografi Afrika, banyak dipengaruhi oleh kepercayaan serta penghormatan yang tinggi terhadap nenek moyang, misalnya pada historiografi tradisional Afrika. Kepercayaan terhadap kelangsungan hidup, suatu kehidupan sesudah mati, suatu persamaan antara yang hidup, yang mati, dan generasi-generasi yang belum lagi dilahirkan adalah asasi untuk semua kehidupan agama, sosial, dan politik Afrika. Orang-orang mesir kuno sangat sadar adanya hubungan kehidupan dan kematian. Seperti pada, inti dari mitos Horus menerangkan bahwa yang telah mati, khususnya para raja, tetap terus memepengaruhi kehidupan yang masih berlangsung dengan cara mempengaruhi perubahan-perubahan dari luapan Sungai Nil, dan tumbuhnya tanaman-tanaman pokok mereka yang selalu terjadi setiap tahun. Bagian terbesar dari kepercayaan bangsa Mesir banyak berkisar pada penghormatan terhadap yang sudah mati. Monumen-monumen yang menakjubkan dibangun, dan para pendeta yang merawat tempat-tempat suci tersebut menjadi banyak yang mengetahui tentang tradisi-tradisi dan cerita-cerita leluluhur mereka.

Inilah unsur inti dari historiagrafi tradisional Afrika. Hampir pada setiap tempat di daerah Sub-Sahara Afrika kita akan menemukan kepercayaan akan adanya hubungan antara yang sudah mati dengan kehidupan yang masih hidup masa kini dan dengan generasi yang akan datang. Hal tersebut menunjukan bahwa tiap komunitas di Afrika didirikan oleh seorang nenek moyang ataupun sekelompok dari leluhur nenek moyang mereka, beserta dengan hak dan kewajiban yang telah ditetapkan. Hak dan kewajiban tersebut berlaku untu segala zaman, dan dapat disesuaikan namun, tidak dapat diganti sama sekali. Nenek moyang dan tradisi yang telah mereka ajrkan adalahsuatu kenyataan hidup, bagi masyarakat tradisional Afrika. Penghormatan pada nenek moyang lebih merupakan suatu bentuk pemujaan, yang dilandasi ketakutan akan “apa yang akan dikatakan nenek moyang”.


A. TRADISI-TRADISI MENGENAI ASAL MULA
Setiap komuniti-komuniti baik besar maupun kecil, mempunyai tradisi yang tetap mengenai asal mulanya. Komuniti yang mungkin bermigrasi, terpecah-pecah, mengasimilasi, ataupun ditaklukkan bangsa lain dan diserap oleh imigran-imigran yang baru. Dalam kondisi seperti trsebut tradisi akan selalu mengalami pengkristalan kembali, hal ini bertujuan guna, mengakomodasi kondisi yang berubah, tradisi baru mengenai asal mula di formulasikan oleh generasi komuniti yang baru. Tradisi mngenai asal mula komuniti ini sendiri mempunyai beberapa ciri khusus, dari ciri khusus inilah yang nanti dapat memperlihatkan bagaimana tradisi dalam historiografi Afrika.

Ciri yang pertama, tradisi asal mula ini tidaklah mengusahakan suatu penjelasan secara sejarah dalam pandangan modern. Kedua, mereka mengembangkan pengertian dan penghormatan terhadap pranata-pranata dan praktek-praktek dari komuniti. Ketiga, mereka memberikan penjelasan mengenai dunia sebagaimana dilihat oleh komuniti, penjelasan yang diberikan disini, tidaklah terlalu historis tetapi lebih banyak bersifat filsafat, kesusastraan, dan pendidikan. Ciri selanjutnya yang ke empat, penejlasan-penjelasan yang diberikan tidak terlalu relevan. Kelima, samapai kepada batas-batas tertentu sejarah dan mitos menjadi satu dan merupakan bagian dari filsafat hidup. Ciri yang terakhir adalah, pembuatan dan penyampaian tradisi bukanlah pekerjaan ahli-ahli sejarah sebagaimana menurut pandangan modern, melainkan pekerjaan para pendeta, ahli-ahli agama, orang-orang tua, dan orang bijaksana pada umumnya.

Tradisi tidak hanya menjelasakan hubungan antara komuniti yang berbeda-beda, namun juga hubungan dengan komuniti yang telah ada, para nenek moyang, dan juga dewa-dewa. Penyampaian tradisi ini pun bermacam-macam, tidak hanya melalui cerita tetapi juga dalam puisi suci dan upacara ritual keagamaan. Tradisi adalah bagian dari filsafat komuniti, bagian dari cara hidup yang lain dari yang lain dalam komuniti itu.

Pembuatan dan penyampaian tradisi yang berbeda-beda itu dipengaruhi oleh, luas, sifat alamiah, kepercayaan, dan sumber-sumber penghasilan dari suatu komuniti tertentu. Dalam suatu negara-negara yang terogarnisasi, khususnya dalam hal ini negara monarki terpusat seperti, Benin, Ashanty, dan Dahomey, pembuatan dan penyampaian tradisi merupakan hal yang terspesialisasi dan terkontrol penuh aturan.


B. PENYAMPAIAN DARI MULUT KE MULUT
Cara yang paling umum dalam penyampaian tradisi adalah melalui cerita-cerita, fabel, dan peribahasa-peribahasa yang diceritakan oleh orang yang lebih tua kepada mereka yang lebih muda sebagai pendidikan umum. Tradisi-tradisi disampaikan secara lebih formal bila ada pranata-pranata pendidikan yang terogarnisasi, misalnya mengenai ritual-ritual dalam tradisi atau pendidikan untuk menjadi pendeta/ahli agama.

Jadi, proses penyampaian suatu tradisi tidak dapat dipisahkan dari proses pembentukan tradisi itu sendiri. Tradisi dibuat oleh mereka yang menyampaikannya yaitu orang-orang yang lebih tua kepada yang lebih muda dalam komuniti itu. Melalui hal tersebut kita jadi dapat lebih mengetahui, bahwa dalam hal ini para orang-orang tua dan ahli agama merupakan kunci dalam pelestarian suatu tradisi dalam klen ataupun komuniti tersebut.


C. TRADISI-TRADISI BERDASARKAN KENYATAAN VERSUS KESUSTRAAN
Terdapat paling tidak ada dua bentuk tradisi di Afrika, yaitu tradisi yang berdasarkan kenyataan dan tradisi yang berbentuk kesusastraan. Contoh lain dalam hal ini misalnya, pembedaan anatara tradisi-tradisi dari suatu bentuk yang berdasarkan atas kenyataan dan sejarah, dan tradisi-tradisi berbentuk kesusastraan dan filsafat.

  1. Tradisi dari suatu bentuk yang berdasarkan kenyataan dan sejarah (bentuk faktual). Tradisi faktual yang demikian mencakup daftar-daftar formal raja-raja, kronik dari setiap masa pemerintahan, pemberian gelar, geneaologi-geneaologi, dan juga hukum dan adat istiadat tertentu.
  2. Tradisi yang lebih berebentuk kasusastraan meeliputi peribahasa-peribahasa, ungkapan-ungkapan, nyanyian, dan lirik-lirik. Sedangkan tradisi-tradisi yang bersifat filsafat lebih pada wujud doa-doa suci dari organisasi keagamaan dan kultus yang berbeda, misalnya pada puisi-puisi yang ditujukan bagi para dewa. Nyanyian berkabung, hymne-hymne, dan juga liturgi-liturgi.


C. PENGARUH-PENGARUH DALAM HISTORIOGRAFI AFRIKA
1. Pengaruh Ethiopia
Tradisi sejarah Ethiopia yang sebagian bersifat Afrik dan yang lain lagi berinspirasikan Yudea-Kristen. Keunggulan dari dinasti Solomon, kesatuan dari gereja , negara, dan integritas dari gereja yang monophysite adalah kekuatan-kekuatan sejarah yang dinamis, sebagaimana pada abad ke-12 Ethiopia mengembangkan suatu legenda yang menghubungkan dinasti yang berkuasa dengan Tanah Suci. Hal itu merupakan tradisi tertulis, yang terdapat dalm Buku Raja-Raja. Buku tersebut selalu dipertunjukkan dalam rite-rite pentasbihan raja. Biara-biara juga mencatat kronologis kejadian dari setiap periode kekuasaan, melestarikan naskah-naskah dan menjaga berbagai peraturan penting.

Dalam tradisi orang Berber, mereka sangat menyadari akan adanya hubungan terus menerus dengan masa lampau. Reaksi mereka terhadap agama Kristen, Rum, dan Islam adalah dengan memanifestasikan dalam suatu keyakinan mistik yang berbeda dan dikombinasikan dengan pemujaan-pemujaan nenek moyang. Hal inilah yang menyebabkan orang Berber menghasilkan hagiografi atau biografi orang-orang suci. Hagiografi adalah pernyataan kesusastraan yang berisikan penghormatan terhadap norma-norma dan kebaikan-kebaikan nenek moyang, sama halnya dengan brbagai tradisi yang terdapat di bagian-bagian lain Afrika.

2. Pengaruh Islam
Pengaruh Islam di Afrika menyebar tidak hanya di Afrika Utara saja tapi juga di Afrika Timur, Sudan, dan daerrah-daerah di hutan belantara. Pada abad ke-11 dan ke-17 para penulis Islam mulai menghasilkan sejumlah Tarikh dan kronika. Penulis-penulis Islam pada waktu itu lebih tertarik terhadap penyebaran dan pengaruh islam di wilayah tersebut, serta mengenai kehidupan agama dan ekonomi di pusat-pusat pertumbuhan Islam. Pusat-pusat agama Islam penting terdapat di Timbuktu, Gao, Djenne, Kano, Katsina, dan Bornu di Afrika Barat danDi Afrika Tengah. Kilwa, Malindi, Mombasa di Afrika Timur. Tradisi-tradisi rakyat dibuat dengan bahasa Arab kadang dengan tulisan Arab namun dengan Bahasa lokal. Catatan berpusat pada kepribadian tokoh-tokoh komuniti Islam dan bukan mengenai negara atau klen tradisional.

ibn khaldun
Gambar: Ibn Khaldun


Prologemena dari Ibn Khaldun, sarjana Tunisia abad ke-4, merupakan karaya terpenting dalam historiografi. Ibn Khaldun lebih menekankan pentingnya sosiologi bagi sejarah. Ia beerusaha mempelajari masa lampau, tidak hanya dalam hal kegiatan individual namun juga dalam menganalisa hukum, adat istiadat dari pranata di berbagai bangsa, dan juga hubungan antara negara dengan masyarakat.

3. Pengaruh Eropa
Pada abad ke-19 pengaruh Eropa mulai masuk ke Afrika, pengaruh itu tidaklah dibangun diatas tradisi sejarah setempat yang telah ada, namun justru menentang dan menggantikan tradisi lokal yang telah ada. Pandangan Eropa tentang sejarah yang bersifat dokumenter membantu propaganda penguasa-penguasa kolonial, Afrika tidak mempunyai sejarah tertulis yang bergharga, anggapan mereka terhadap tradisi lokal setempat. Sejarah Eropa dan sejarah ekspansi Eropa mulai menggantikan sejarah dan tradisi lokal dalam berbagai pendidikan yang diajarkan. Ahli-ahli sejarah pada abad ke-20 mulai menjelaskan mengenai perdagangan budak di Atlantik, keunggulan teknologi Eropa, dan ketaklukan Afrika. Tidak dilihat dari segi studi sejarah dari benua ini namun justru pada pendekatan prasangka rasial dan psikologis mengenai kekalahan yang menjadi ciri utama dari orang-orang kulit hitam. Bahkan para penyebar agama Kristen mengintroduksikan bahwa mereka merupakan anak Ham, yang telah mendapat kutukan dari Nabi Nuh sebagai pemotong kayu dan penimba air bagi kulit yang lebih putih.

Historiografi Afrika akhirnya hanya menjadi pembenaran bagi imperialisme Eropa. Namun dalam perekembangannya, muncul reaksi dari golongan berpendidikan Afrika. Mulai muncul penulis-penulis yang mencatat mengenai hukum, adat istiadat, peribahasa, ungkapan-ungkapan, tradisi-tradisi sejarah yang ada di dalam komuniti mereka sendiri. Terutama sebelumkekuasaan Eropa mantap di Afrika. Penulis-penulis tersebut diantaranya:
  1. James Africanus Horton dari Sierra.
  2. Leone, Carl C. Reindorf, dan John M. Sarbah dari Ghana.
  3. Otomba Payne dan Samuel Johnson dari Nigeria.
  4. Apolo Kagwa dari Uganda.

james africanus horton
Gambar: James Africanus Horton



Dalam perkembangan selanjutnya, bangsa Eropa ini akhirnya juga mulai menghargai kebudayaan dan tradisi yang ada di Afrika, hal ini dibuktikan dengan dibentuknya lembaga-lembaga atau organisasi yang berkaitan mengenai kehidupan dan tradisi di Afrika. Misalnya:
  1. The International Institute of African Language and Cultures, di London yang menerbitkan majalah Afrika.
  2. Prancis juga mendirikan Institut Francois d’Afrique Noire di Afrika Barat.
  3. The Journal of Negro History, di Amerika Serikat.
  4. Ahli-ahli antropologi seperti Melville J. Herskovits mulai memperhatikan kebudayaan Afrika dan keberadaanya mulai diperhatikan secra serius, serta mulai memahami Afrika masa lampau.

the journal of negro history
Gambar: The Journal Of Negro History


Gejolak perhatian terhadap historiografi Afrika yang baru datang bersamaan dengan gerakan menuju kemerdekaan. Gerakan nasionalis pasca Perang Dunia II secara tegas menolak penilaian Eropa terhadap masa lampau Afrika dan menuntut orientasi baru. Selain itu para ahli peneliti di Afrika juga berpendapat bahwa sejarah di Afrika haruslah sejraha mengenai bangsa Afrika, bukan tentang orang-orang Eropa di Afrika. Tradisi lisan harus diterima sebagai material yang benar untuk penelitian sejarah. Berdasarkan pemikiran-pemikiran baru itulah maka mulai muncul karya-karya dari bangsa Afrika sendiri, misalnya:
  1. Trade and Politics in the Niger Delta (Dike, 1956)
  2. The Egba and Their Neighbours (Biobaku, 1975)

trade and politics in the niger delta
Gambar: Trade and Politics in the Niger Delta (Dike, 1956)



D. MASALAH-MASALAH DAN PROSPEK PENELITIAN
Pendekatan interdisipliner merupakan arah yang paling menghasilkan di dalam historiografi Afrika pada waktu sekarang ini. Ada tiga faktor yang mendorong pndekatan interdisipliner ini,yaitu:
  1. Dibentuknya pusat-pusat atau institut khusus studi Afrika dimana ahli sejarah, antropologi, ilmu bahsa, dan ilmu purbakala dapat bekerjasama dengan baik.
  2. Proyek-proyek kebudayaan yang khusus seperti proyek Benin dan Yoruba yang disini melibatkan orang dari disiplin ilmu, bekerja sama dalam satu kepemimpinan satu orang guna memberika penjelasan/penerangan mengenai sejarah kebudayaan dari suatu kebudayaan tertentu.
  3. Pembentukan perkumpulan dan diadakan konferensi-konferensi atau konggres secara periodik mengenai sejrah Afrika atau studi Afrika secara umum.

Pendekatan interdisipliner ini telah sangat menghasilkan berbagai hal yang tentunya sangat berarti dalam menyumbangkan ilmu pengetahuan di dlam bidang sejarah khususnya, misalnya:
  1. Banyaknya koleksi dan penilaian material untuk sejarah Afrika.
  2. Munculnya arsip-arsip nasional.
  3. Adanya standar dan metodologi yang ketat di dalam pengumpulan data.


Description: historiografi afrika, penulisan sejarah afrika, historiografi di afrika