Ketika Pendidikan Menjadi Hal Menakutkan
Oleh Ivan Sujatmoko“Pendidikan adalah segala daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya”
(Ki Hajar Dewantara)
Berbicara tentang pendidikan di Indonesia pada saat ini, tentu tak akan lepas dengan sebuah momen menjelang kelulusan yang bernama Ujian Nasional (UN). Seperti kita ketahui bersama bahwasanya Ujian Nasional merupakan standar sekolah dalam menentukan apakah seorang siswa itu lulus dari satuan pendidikan atau tidak. Ujian Nasional menjadi tolak ukur kemampuan siswa setelah mereka melakukan kegiatan pembelajaran selama tiga tahun.
Beberapa bulan yang lalu, siswa-siswa SMA kelas 12 di negara kita disibukkan dengan acara nasional yang rutin diselenggarakan tiap tahun itu. Hampir sekitar empat hari mereka berjuang melawan soal-soal Ujian Nasional demi sebuah kelulusan. Perjuangan mereka selama hampir tiga tahun dalam proses pembelajaran seakan takkan ada artinya lagi ketika Ujian Nasional-lah yang menjadi hakimnya kini. Rasanya tak adil untuk mereka yang telah menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk pendidikan selama 3 tahun harus gagal karena sosok Ujian Nasional.
Perasaan takut, cemas, dan khawatir bercampur menjadi satu kesatuan yang menyelimuti hati dan fikiran selama masa pengadilan itu. Berharap materi yang mereka hafalkan sebelumnya keluar dalam soal. Berharap ada teman yang berbaik hati mau memberikan jawaban. Berharap sang pengawas tidak menegur ketika nanti mereka mencontek. Begitu banyak mereka berharap untuk memenangkan pertarungan melawan soal-soal Ujian Nasional ini.
Kepala sekolah dan guru mata pelajaran pun tak kalah khawatirnya. Mereka berharap-harap cemas, apakah siswa mereka bisa lulus semua dalam Ujian Nasional atau tidak. Nama baik sekolah menjadi hal yang dipertaruhkan jikalau siswa-siswa di sekolah mereka banyak yang gagal nantinya. Hal itulah yang menjadikan tingkat ketakutan dan kekhawatiran kepala sekolah dan guru sejalan dengan apa yang dirasakan para siswanya.
Kecurangan dan ketidakjurjuran kini menjadi hal yang biasa dalam Ujian Nasional. Kondisi siswa yang merasa tertekan menjadikan mereka menghalalkan segala cara untuk menghadapi soal Ujian Nasional. Mulai dari mencontek secara langsung ke teman, mencontek lewat handphone, melalui media internet dan yang lebih ekstrim lagi yaitu membeli jawaban dari oknum-oknum tertentu dengan harga yang tentu saja tidak murah. Rasa ketakutan yang berlebih menjadikan tingkat kecurangan dan ketidakjujuran pun turut meningkat.
Beberapa bulan menjelang berlangsungnya Ujian Nasional para siswa mulai sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi masa penghakiman ini. Persiapan benar-benar dilakukan secara matang layaknya para tentara yang akan menghadapi perang. Berbagai cara mereka lakukan demi kesuksesan menjalani UN. Cara-cara itu pun bervariatif, baik cara-cara yang bisa dipandang positif maupun negatif sekalipun mereka lakukan.
Kebanyakan para siswa mengikuti jam tambahan yang disediakan sekolah untuk mata pelajaran yang di UN-kan. Seperti pelajaran matematika, bahasa inggris, bahasa Indonesia, dan lainnya. Tidak cukup dengan hal itu, biasanya para siswa yang mempunyai orang tua berpenghasilan lebih, juga akan mengikuti les tambahan di lembaga-lembaga pendidikan swasta. Waktu, tenaga, fikiran, dan uang harus rela dikorbankan demi Ujian Nasional. Bahkan mata pelajaran yang tak ikut di UN-kan pun turut menjadi korban keganasan Ujian Nasional. Sekolah mengurangi jam pelajaran untuk mata pelajaran yang tak di UN-kan dan memindahkan jam tersebut untuk mata pelajaran matematika dan kawan-kawan.
Tidak hanya cara-cara yang halal. Cara-cara yang kotor pun terkadang menjadi pilihan yang menarik bagi sebagaian siswa yang akan menjalani masa penghakiman itu. Seperti pengalaman saya diwaktu yang lalu, banyak teman-teman saya yang iuran sejumlah uang untuk membeli jawaban saat Ujian Nasional besok. Entah siapa yang menjual jawaban tersebut, entah jawaban itu nantinya benar atau salah yang pasti mereka langsung mempercayainya akibat dari rasa ketakutan yang sudah diluar batas. Lebih lucu lagi, ada teman saya waktu itu pergi ke dukun untuk meminta jimat agar penjaga ruang Ujian Nasional tidak mengetahui dirinya saat dia sedang mencontek. Sungguh gambaran nyata bahwa pendidikan yang seharusnya menjadikan logika agar berjalan malah justru sebaliknya yang terjadi. Lagi-lagi, rasa takut yang banyak berperan disini.
Sehari menjelang UN, pemerintah mulai mendistribusikan soal-soal untuk menghakimi siswa ke sekolah-sekolah. Kini tak hanya para siswa saja yang disibukkan oleh Ujian Nasional. ‘Ksatria Berbaju Coklat’ pun kini mulai beraksi untuk mengamankan proses pendistribusian soal dan menjaga soal-soal tersebut jagan sampai bocor sebelum waktunya. Gambaran betapa berharganya soal Ujian Nasional dibandingkan dengan hakekat pendidikan itu sendiri.
Ketakutan ternyata tak hanya melanda siswa peserta Ujian Nasional. Pemerintah sendiri pun mengalami ketakutan juga. Mereka takut terjadi kebocoran soal-soal untuk Ujian Nasional tersebut. Karena itulah ‘Ksatria Berbaju Coklat’ diturunkan untuk menangani rasa takut itu. Sungguh aneh dan tidak lucu ketika ‘Sang Pahlawan Kebajikan’ kini turut ikut campur dalam urusan pendidikan. Permasalahan dalam pendidikan kini tak jauh beda dengan masalah tindakan kriminal.
Mungkin begitulah gambaran nyata, ketika pendidikan menjadi hal menakutkan. Pendidikan tak lagi bersifat humanis, tak lagi tentang sebuah proses dan tak lagi dalam tujuan yang sebenarnya. Berdasarkan fakta-fakta yang ada dilapangan tersebut, masih pantaskah Ujian Nasional menjadi sang pengadil perjuangan siswa selama tiga tahun itu?
Yogyakarta, 2 Mei 2012
Tulisan ini ditulis dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional Indonesia yang jatuh tepat pada hari ini 2 Mei 2012.
Beberapa bulan yang lalu, siswa-siswa SMA kelas 12 di negara kita disibukkan dengan acara nasional yang rutin diselenggarakan tiap tahun itu. Hampir sekitar empat hari mereka berjuang melawan soal-soal Ujian Nasional demi sebuah kelulusan. Perjuangan mereka selama hampir tiga tahun dalam proses pembelajaran seakan takkan ada artinya lagi ketika Ujian Nasional-lah yang menjadi hakimnya kini. Rasanya tak adil untuk mereka yang telah menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk pendidikan selama 3 tahun harus gagal karena sosok Ujian Nasional.
Perasaan takut, cemas, dan khawatir bercampur menjadi satu kesatuan yang menyelimuti hati dan fikiran selama masa pengadilan itu. Berharap materi yang mereka hafalkan sebelumnya keluar dalam soal. Berharap ada teman yang berbaik hati mau memberikan jawaban. Berharap sang pengawas tidak menegur ketika nanti mereka mencontek. Begitu banyak mereka berharap untuk memenangkan pertarungan melawan soal-soal Ujian Nasional ini.
Kepala sekolah dan guru mata pelajaran pun tak kalah khawatirnya. Mereka berharap-harap cemas, apakah siswa mereka bisa lulus semua dalam Ujian Nasional atau tidak. Nama baik sekolah menjadi hal yang dipertaruhkan jikalau siswa-siswa di sekolah mereka banyak yang gagal nantinya. Hal itulah yang menjadikan tingkat ketakutan dan kekhawatiran kepala sekolah dan guru sejalan dengan apa yang dirasakan para siswanya.
Kecurangan dan ketidakjurjuran kini menjadi hal yang biasa dalam Ujian Nasional. Kondisi siswa yang merasa tertekan menjadikan mereka menghalalkan segala cara untuk menghadapi soal Ujian Nasional. Mulai dari mencontek secara langsung ke teman, mencontek lewat handphone, melalui media internet dan yang lebih ekstrim lagi yaitu membeli jawaban dari oknum-oknum tertentu dengan harga yang tentu saja tidak murah. Rasa ketakutan yang berlebih menjadikan tingkat kecurangan dan ketidakjujuran pun turut meningkat.
Beberapa bulan menjelang berlangsungnya Ujian Nasional para siswa mulai sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi masa penghakiman ini. Persiapan benar-benar dilakukan secara matang layaknya para tentara yang akan menghadapi perang. Berbagai cara mereka lakukan demi kesuksesan menjalani UN. Cara-cara itu pun bervariatif, baik cara-cara yang bisa dipandang positif maupun negatif sekalipun mereka lakukan.
Kebanyakan para siswa mengikuti jam tambahan yang disediakan sekolah untuk mata pelajaran yang di UN-kan. Seperti pelajaran matematika, bahasa inggris, bahasa Indonesia, dan lainnya. Tidak cukup dengan hal itu, biasanya para siswa yang mempunyai orang tua berpenghasilan lebih, juga akan mengikuti les tambahan di lembaga-lembaga pendidikan swasta. Waktu, tenaga, fikiran, dan uang harus rela dikorbankan demi Ujian Nasional. Bahkan mata pelajaran yang tak ikut di UN-kan pun turut menjadi korban keganasan Ujian Nasional. Sekolah mengurangi jam pelajaran untuk mata pelajaran yang tak di UN-kan dan memindahkan jam tersebut untuk mata pelajaran matematika dan kawan-kawan.
Tidak hanya cara-cara yang halal. Cara-cara yang kotor pun terkadang menjadi pilihan yang menarik bagi sebagaian siswa yang akan menjalani masa penghakiman itu. Seperti pengalaman saya diwaktu yang lalu, banyak teman-teman saya yang iuran sejumlah uang untuk membeli jawaban saat Ujian Nasional besok. Entah siapa yang menjual jawaban tersebut, entah jawaban itu nantinya benar atau salah yang pasti mereka langsung mempercayainya akibat dari rasa ketakutan yang sudah diluar batas. Lebih lucu lagi, ada teman saya waktu itu pergi ke dukun untuk meminta jimat agar penjaga ruang Ujian Nasional tidak mengetahui dirinya saat dia sedang mencontek. Sungguh gambaran nyata bahwa pendidikan yang seharusnya menjadikan logika agar berjalan malah justru sebaliknya yang terjadi. Lagi-lagi, rasa takut yang banyak berperan disini.
Sehari menjelang UN, pemerintah mulai mendistribusikan soal-soal untuk menghakimi siswa ke sekolah-sekolah. Kini tak hanya para siswa saja yang disibukkan oleh Ujian Nasional. ‘Ksatria Berbaju Coklat’ pun kini mulai beraksi untuk mengamankan proses pendistribusian soal dan menjaga soal-soal tersebut jagan sampai bocor sebelum waktunya. Gambaran betapa berharganya soal Ujian Nasional dibandingkan dengan hakekat pendidikan itu sendiri.
Ketakutan ternyata tak hanya melanda siswa peserta Ujian Nasional. Pemerintah sendiri pun mengalami ketakutan juga. Mereka takut terjadi kebocoran soal-soal untuk Ujian Nasional tersebut. Karena itulah ‘Ksatria Berbaju Coklat’ diturunkan untuk menangani rasa takut itu. Sungguh aneh dan tidak lucu ketika ‘Sang Pahlawan Kebajikan’ kini turut ikut campur dalam urusan pendidikan. Permasalahan dalam pendidikan kini tak jauh beda dengan masalah tindakan kriminal.
Mungkin begitulah gambaran nyata, ketika pendidikan menjadi hal menakutkan. Pendidikan tak lagi bersifat humanis, tak lagi tentang sebuah proses dan tak lagi dalam tujuan yang sebenarnya. Berdasarkan fakta-fakta yang ada dilapangan tersebut, masih pantaskah Ujian Nasional menjadi sang pengadil perjuangan siswa selama tiga tahun itu?
Yogyakarta, 2 Mei 2012
Tulisan ini ditulis dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional Indonesia yang jatuh tepat pada hari ini 2 Mei 2012.
subhanalllah
BalasHapus@Anonim: makasih udah mampir gan...
BalasHapusya gimana ya.... tujuan pemerintah itu bagus, supaya negara kita memiliki alat ukur yang standar nasional dari hasil belajar.
BalasHapus@Hasta: kalau ditinjau dari tujuannya sih memang bagus, sebagai alat ukur standar nasional dari hasil belajar. Tapi kan kenyataan dilapangan, UN justru menjadikan tujuan utama pendidikan itu sendiri menjadi tidak tercapai. Salah satu tujuan pendidikan adalah menanamkan nilai-nilai kejujuran. Nah justru hanya karena untuk UN, banyak yang mengabaikan nilai-nilai kejujuran, berarti kan tujuan pendidikan itu sendiri jadi tidak tercapai... :)
BalasHapus(kyknya OOT)
BalasHapusBlognya bagus gan (y) Rapi, ga neko2, trus juga Tulisannya ajib gan...