Cari kaos bagus? yuk merapat di Distro Surfingan

Juru Masak Wanita Pribumi dan Rijsttafel Masa Kolonial

Salah satu hal menarik dari masa penjajahan Belanda yaitu persentuhan budaya pribumi dengan Eropa. Persentuhan itu terasa sekali dalam pengaruh cita rasa Belanda terhadap khazanah kuliner pribumi yang dipandang tradisional. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari percampuran orang-orang Belanda dengan wanita pribumi yang menghiasi sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia.

Seperti umumnya tatanan masyarakat di tanah koloni, orang Eropa (dalam hal ini Belanda) dikenal sebagai kelas sosial tertinggi yang senantiasa menjaga eksklusivitas atau membatasi hubungan dengan kelas sosial yang dianggap rendah yaitu pribumi. Namun pengaruh masyarakat yang dikoloni nyatanya deras mempengaruhi kehidupan keseharian mereka. Demikian pula sebaliknya masyarakat pribumi menyerap dan terpengaruh unsur-unsur kebudayaan penjajah. Salah satunya dalam hal makanan atau kuliner.

Nilai-nilai budaya yang sudah tertanam dalam kehidupan bangsa Indonesia ini sulit dihapuskan karena sudah menyatu menjadi kebiasaan kolektif masyarakat, sebagaimana tampak dalam wajah kuliner Indonesia. Sebagai contoh, gaya prasmanan sebgai gaya penyajian makanan yang sangat lumrah bagi masyarakat Indonesia saat ini sebenarnya merupakan gaya Eropa yang menggantikan kebiasaan makan pribumi duduk berlesehan di lantai. Selain itu, makanan populer macam perkedel dan supa yang sudah biasa terhidang di meja-meja makan kita sejatinya diadopsi dari kuliner barat.

Pada paruh kedua abad ke-19, rijsttafel menjadi budaya makan kolonial belanda paling mengemuka. Melalui rijsttafel-lah pencitraan budaya makan yang ideal setidaknya mulai dibangun.


A. PENGERTIAN RIJSTTAFEL
Secara Etimologi kata rijsttafel terdiri dari dua suku kata yaitu rijst dan tafel. Dalam bahasa Belanda, rijst berasal dari bahasa Perancis kuno ris; berarti beras, sedangkan tafel dalam bahasa Belanda berasal dari Latin tabula; berarti table atau meja.

Menurut seorang penulis roman Belanda, Victor Ido (1948: 31) dalam buku “Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia”, rijsttafel diartikan sebagai “eten van de rijsmaaltijd een speciale tafel gebruikt” yaitu suatu sajian makan nasi yang dihidangkan secara spesial.

Rijsttafel (dibaca "rèisttafel") merupakan cara penyajian makanan berseri dengan menu dari berbagai daerah di Nusantara yang berkembang dari kolonial Hindia Belanda yang mengadopsi kebiasaan makan menggunakan menu utama dengan nasi. Cara penyajian ini populer di kalangan masyarakat Eropa-Indonesia, namun tetap digemari di Belanda dan dihidupkan lagi di Indonesia pada masa kini.

rijsttafel
Gambar: Rijsttafel

Rijsttafel pada dasarnya adalah konsep penyajian makanan lengkap ala restoran di Eropa, yang diawali dengan makanan pembuka (appetizer), lalu makanan utama (main course), dan diakhiri dengan makanan penutup (dessert). Titik berat ditujukan pada cara penyajian dan kemeriahan. Dalam rijsttafel, makanan yang disajikan bukanlah masakan Eropa melainkan masakan Nusantara, masakan "hibrida" barat dan Nusantara, serta sebagian kecil menu Barat. Menu Barat ini biasanya yang berkaitan dengan menu beralkohol, seperti anggur atau gin.

Menu yang disajikan dengan cara ini bervariasi, tergantung selera. Menu standar biasanya melibatkan nasi goreng, rendang, opor ayam, sate babi, dilengkapi dengan kerupuk dan sambal.


B. JURU MASAK WANITA PRIBUMI MASA KOLONIAL
Kuliner yang kita miliki memiliki berbagai ragam jenis dan sangat kaya itu jelas dan tidak bisa dipungkiri lagi. Penggunaan rempah-rempah untuk bumbu makanan membuat kuliner kita disejajarkan dengan kuliner Prancis yang sangat haute causine. Dalam pandangan Eropa bahwa syarat haute causine umumnya tidak dapat dipisahkan dari penggunaan bahan-bahan makanan yang dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan. Selain itu, hidangan pribumi identik dan sarat penggunaan bahan rempah-rempah yang tentunya eksotis di mata mereka.

Kekayaan ini telah ada sejak lama bahkan bangsa Belanda yang datang pun mengakui ini. Menurut Onghokham hal ini dapat dijelaskan bahwa sewaktu berkunjung ke Keraton Mataram pada tahun 1656, duta VOC Rijklofs van Goens begitu heran melihat jenis masakan dari daging, ayam, ikan hingga sayuran yang diolah, mulai dari dibakar, digoreng hingga dikukus. Semua ini terhidang untuk menjamu para tamu raja. Melimpahnya hidangan ini merupakan tradisi tahunan keraton ketika para bupati dari tiap daerah membawa upeti bagi raja disertai para pengikut mereka, diantaranya para petani yang wajib bekerja mengabdi di keraton. Para bupati ini juga membawa juru masak sendiri dan biasanya makanan khas daerah tiap bupati ikut dipersembahkan untuk hidangan di meja raja. Hal inilah yang menyebabkan melimpahnya hidangan di meja raja.

Kemunculan dan berkembangnya rijsttafel seperti halnya kebudayaan Indis lain pada mulanya didukung oleh kebiasaan hidup membujang para pejabat Eropa. Larangan membawa istri (kecuali pejabat tinggi) dan mendatangkan wanita Eropa ke Hindia memunculkan terjadinya percampuran darah dengan wanita Eropa ke Hindia memunculkan terjadinya percampuran darah dengan wanita pribumi yang melahirkan generasi campuran (Indo) sehingga turut pula menghasilkan gaya hidup campuran. Selain itu, dibukanya Terusan Suez pada 1869 juga menjadi factor makin singkat dan luasnya percampuran budaya yang ditandai meningkatnya populasi orang Eropa, terutama kaum wanitanya di Hindia Belanda.

Peran koki atau juru masak wanita pribumi yang bekerja menjadi pembantu masak di keluarga Eropa sebenarnya sangat dominan semenjak gelombang kedatangan orang-orang Eropa pada abad ke-19. Juru masak wanita pribumi ini banyak dimanfaatkan oleh orang-orang Eropa untuk mengurusi rumah mereka, karena pada awal kedatangan bangsa Eropa mereka tidak membawa istri dan keluarga mereka. Juru masak wanita pribumi ini sangat besar perannya dalam memperkenalkan budaya makan Indonesia. Dari juru masak wanita pribumi inilah masyarakat Eropa beradaptasi terhadap makanan lokal terutama nasi dan hidangan lainnya. Kebiasaan makan nasi ini menjadikan kebiasaan yang turun menurun dikalangan orang Eropa yang tinggal di Jawa.

Kebiasaan makan nasi bangsa Eropa khususnya orang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda akhirnya menciptakan sebuah budaya makan yang bernama rijsttafel. Rijsttafel berarti hidangan nasi dapat juga dikatakan sebagai suatu sajian makan nasi yang disajikan secara special. Menurut Fadly Rahman, rijsttafel yang di kalangan masyarakat pribumi sebagai kebiasaan makan sehari-hari yang biasa maka di kalangan Eropa rijsttafel menjadi gaya hidup yang terkesan mewah. Kesan mewah ini ditampilkan melalui kuantitas hidangan serta aspek penyajiannya. Dan bila dicermati bahwa rijsttafel ini dapat dikatakan memiliki kemiripan dengan tradisi dan kebiasaan makan di Keraton masa lalu.
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa juru masak wanita pribumi ini memiliki andil besar terhadap terbentuknya kebudayaan baru terutama dalam budaya kuliner yang terkadang tidak kita sadari. Seandainya juru masak wanita pribumi ini tidak dipekerjakan dalam rumah tangga Eropa maka budaya rijsttafel tidak akan terbentuk, maka nasi hanya menjadi hidangan biasa.

Kemunculan dan berkembangnya kebudayaan campuran ini, pada mulanya timbul dan didukung oleh karena adanya larangan pejabat Eropa (kecuali pejabat tinggi) membawa istri dan juga karena larangan mendatangkan wanita Eropa ke Hindia Belanda. Untuk mengatasinya mereka mengambil wanita pribumi sebagai “istri” sehingga menghasilkan gaya hidup campuran. Setelah Terusan Suez dibuka (1869) populasi orang Belanda semakin meningkat (juga kaum wanitanya), sehingga berdampak besar pada perubahan sosial budaya. Mereka mau tidak mau harus beradaptasi dengan keadaaan di Hindia Belanda, termasuk dalam hal makanan. Kebiasaan makan nasi dan makanan pribumi lain, dalam kehidupan sehari-hari rumah tangga Belanda seakan menjadi hal yang tak terpisahkan. Kebiasaan makan nasi dari generasi ke generasi pada akhirnya menjadi budaya tersendiri dalam ruang lingkup kehidupan orang-orang Belanda, yang kemudian memunculkan istilah khusus yaitu rijsttafel. Risj berarti nasi atau beras yang sudah dimasak, tafel selain berarti meja juga bermakna kias untuk hidangan. Nasi yang bagi penduduk pribumi merupakan hidangan biasa sehari-hari, oleh Belanda pada akhirnya dikemas menjadi hidangan yang resmi dan mewah.


C. PERKEMBANGAN RIJSTTAFEL
Keberadaan rijsttafel banyak ditemukan di Pulau Jawa. Pemerintah kolonial yang membentuk sistem pemerintahan modern menegaskan kedudukan dominan di Pulau Jawa sebagai pusat kekuasaan. Secara tak terelakkan, budaya Indis pun banyak berkembang pesat di sisni. Kondisi ini menghasilkan besarnya arus pembaratan di Jawa. Sementara itu, budaya pribumi turut pula memengaruhi kehidupan orang-orang Belanda, seagaimana tampak dalam rijsttafel ini.

Fenomena rijsjttafel sebagai bentuk gaya hidup sebenarnya semacam penekanan seni boga adiluhung terhadap hidangan pribumi. Dalam pandangan orang Eropa syarat seni boga adiluhung tidak dapat dipisahkan dari penggunaan bahan-bahan makanan yang dapat diolah menjadi beragam jenis masakan. Rijsttafel pada dasarnya merupakan fenomena yang muncul dari kebiasaan, lalu membentuk ciri khas budaya makan yang unik. Rijsttafel sendiri memang sangat identik dengan budaya orang-orang Belanda di wilayah koloninya, meskipun kenyataannya, jika melihat segi hidangan, unsur pribumi sangat dominan.Rijsttafel kemudian dikemas menjadi lebih formal dan dijadikan simbol status sosial orang Belanda. Sementara itu pengaruh rijsttafel yang pada awalnya muncul di kalangan elit pribumi (priyayi) tampak dari penggunaan piranti makan Eropa (sendok, garpu, pisau) dan menu hidangan campuran Jawa serta Eropa seperti beafstuk, resoulles, dan soep. Kebalikannya keluarga Belanda dan keturunannya mengenal dan pada waktu-waktu tertentu menghidangkan nasi, soto, nasi goreng, gado-gado, nasi rames, dan sebagainya.

rijsttafel masa kolonial
Gambar: Rijsttafel Masa Kolonial

Memasuki abad ke-20 rijsttafel mengalami semacam formalisasi yang melahirkan berbagai bentuk inovasi penyajian sehingga menunjukkan perkembangan penting dan menarik. Seiring semakin pesatnya perkembangan modernisasi di Jawa, industri pariwisata pun mengalami kemajuan. Hal ini turut membawa dampak terhadap kemunculan sarana wisata seperti hotel. Hotel-hotel kelas satu, untuk memikat para wisatawan, menyediakan makan siang dengan menu rijsttafel. Standar penyajian dikemas semewah mungkin sebagai daya pikat. Apabila penyajian rijsttafel di lingkungan rumah tangga ditunjukkan dengan penggunaan tenaga pelayan dan jumlah hidangan yang disajikan lebih untuk kalangan terbatas, di ruang makan hotel penyajian ditunjukkan dengan besarnya jumlah pelayan serta banyak dan beragamnya kuantitas hidangan untuk konsumsi skala besar.

Popularitas rijsttafel mulai redup ketika Jepang berkuasa di Indonesia (1942). Faktor utama adalah kepulangan orang-orang Belanda ke negeri asal mereka menjelang pendudukan Jepang tersebut, dan pelarangan dari Jepang untuk menggunakan berbagai hal yang berbau Eropa (Belanda).


Description: juru masak wanita pribumi, rijsttafel, rijsttafel masa kolonial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar