Cari kaos bagus? yuk merapat di Distro Surfingan
Tampilkan postingan dengan label Candi - Candi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Candi - Candi. Tampilkan semua postingan

Candi Penataran

Candi Penataran merupakan salah satu candi yang merupakan peninggalan sejarah yang amat mempesona jika dilihat dari sisi keindahan dan juga budayanya. Candi Penataran adalah komplek percandian yang terluas di Jawa Timur. Berdasarkan laporan Dinas Purbakala tahu 1914-1915 nomor 2045 dan catatan Verbeek nomor 563, Candi Penataran merupakan bangunan kekunaan yang terdiri atas beberapa gugusan sehingga disebut Komplek Percandian. Lokasi bangunan candi ini terletak di lereng barat daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter diatas permukaan air laut, Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Blitar.

Candi Penataran ditemukan pada tahun 1815, tetapi sampai tahun 1850 belum banyak dikenal. Penemunya adalah Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826), Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang pernah berkuasa di Nusantara. Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit yang kemudian disusul dengan masuknya agama Islam, banyak bangunan suci yang berkaitan dengan agama Hindu dan Budha begitu saja ditinggalkan oleh masyarakat penganutnya. Lama-lama bangunan-bangunan suci yang tidak lagi dipergunakan itu dilupakan orang-orang karena masyarakat sebagian besar telah berganti kepercayaan. Akibatnya bangunan tersebut menjadi terlantar tidak ada lagi yang mengurusnya, pada akhirnya tertimbun longsoran tanah dan semak semak belukar. Namun seiring berjalannya waktu, kompleks candi Penataran yang dahulunya sempat terabaikan sekarang mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah. Sehingga untuk saat ini sudah menjadi kompleks candi sebagai tujuan wisata yang indah dan menarik.


A. LOKASI CANDI PENATARAN
Candi Penataran merupakan satu-satunya candi terluas di Jawa Timur. Lokasinya terletak di desa Penataran, kecamatan Nglegok, Blitar. Tepatnya di lereng barat daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter di atas permukaan air laut. Untuk sampai di lokasi percandian dapat ditempuh dari pusat kota Blitar ke utara yaitu ke jurusan makam Bung Karno. Jarak antara kota dan sampai lokasi diperkirakan 12 Km. Apabila ditempuh dari kota Blitar, setelah mencapai 10 Km, setelah sampai di pasar desa Nglegok, kemudian diteruskan sampai pasar Penataran kemudian belok kiri menuju ke percandian. Dari pertigaan pasar Penataran sampai ke lokasi hanya tinggal 300 meteran. Bagi pengunjung yang datang dari Malang dapat ditempuh lewat pertigaan desa Garum kemudian belok kanan sejauh lebih kurang 5 Km sudah sampai di lokasi percandian.

candi penataran
Gambar: Candi Penataran


Jumlah pengunjung candi Penataran tergolong tinggi. Menurut catatan jumlah pengunjung rata-rata dalam satu bulan mencapai sekitar 20.000 sampai 25.000 orang. Itu merupakan suatu jumlah yang cukup besar jika dibandingkan dengan pengunjung candi yang lain. Setiap wisatawan seperti diwajibkan untuk mampir ke Candi Penataran dan rasanya belum sah jika berwisata ke Jawa Timur tanpa mampir ke Candi Penataran. Mereka tertarik dengan kekunikan dari candinya sendiri, yang bisa menjadi obyek pemotretan, sumber inspirasi bagi para seniman dan sebagai lahan bagi para pedagang kecil untuk menjajakan makanan atau cindera mata penitipan kendaraan maupun pemandu wisata hingga biro transportasi.

Candi Penataran termasuk dalam monumen mati (dead monument) artinya tidak ada kaitannya lagi dengan kepercayaan yang dianut masyarakat dewasa ini. Bangunan candi tidak berfungsi lagi sebagai tempat ibadah atau sebagai tempat semedi melainkan sebagai tempat wisata. Para pengnjung yang datang dalam rangka menikmati seni dan budaya dari kekunoan dan ilmu pengetahuan. Kini 800 tahun lebih telah berlalu, komplek Candi Penataran masih tegak berdiri di tempat semula dengan penuh keanggunan dan kemegahan.

candi penataran
Gambar: Candi Penataran



B. BAGIAN-BAGIAN CANDI PENATARAN
Menurut catatan, bangunan Candi Penataran menempati areal tanah seluas 12.946 m2 berjajar dari barat laut ke timur kemudian berlanjut ke tenggara. Seluruh halaman komplek percandian kecuali yang bagian tenggara dibagi menjadi tiga bagian, yang dipisahkan oleh dua dinding. Untuk lebih mudahnya dalam memahami kompek Candi Penataran, bagian-bagian dari Candi Penataran disebut halaman A, halaman B, dan halaman C. Susunan dari komplek Candi Penataran yang sangat unik dan tidak terlihat harmonis ini mengambarkan bahwa pembuatan candi tidak dalam satu periode. Candi Penataran dibangun oleh dua dinasti yang bermusuhan, yaitu dari wangsa Isyana beralih ke wangsa Rajasa. Berikut adalah bagian-bagian dari Candi Penataran:

1. Halaman A
Masuk kedalam halaman A, yang sebelumnya dengan diawali dengan menuruni undakan, para pengunjung disambut oleh dua buah arca penjaga pintu (Dwaraphala) yang berangka tahun 1242 Saka atau 1320 Masehi terpahat dalam arca, masyarakat setempat menyebutnya Reco Pentung. Berdasarkan pahatan angka tahun yang ada pada kedua lapik arca tersebut, para sarjana menyimpulkan bahwa bangunan Candi Palah (nama asli Candi Penataran) baru diresmikan menjadi Negara (state temple) pada masa pemerintahannya Raja Jayanegara dari Majapahit, meskipun masih berstatus dharma lepas. Sebelah timur kedua aca tersebut terdapat sisa-sisa pintu gerbang yang terbuat dari batu bata merah.

dwarapala candi penataran
Gambar: Dwarapala Candi Penataran


a. Bale Agung
Melalui bekas pintu gerbang, sampailah pada bagian terdepan dari Candi Pantaran, Bale Agung. Lokasi bangunan tersebut terletak di bagian barat laut halaman A, posisinya sedikit menjorok ke depan. Bangunan seluruhnya terbuat dari batu, didingnya masih polos dan memiliki empat buah tangga, dua buah terletak di sisi tenggara, sehingga bangunan ini terkesan menghadap tenggara. Sedangkan dua buah yang lain terletak di sisi timur laut dan barat daya terkesan sebagai tangga ke pintu samping.Pada diding utara dan selatan terdapat dua buah tangga masuk yang membagi dinding sisi timur menjadi tiga bagian. Sekeliling tubuh bangunan Bale Agung dililit oleh ular naga. Kepala ular naga tersembul di bagian kanan dan kiri bangunan. Masing-masing tangga naik terdapat arca penjaga yang berupa arca mahakala. Bangunan Bale Agung berukuran panjang 37 meter, lebar 18,84 meter dan tinggi 1,44 meter. Di atas ada pelataran yang di masing-masing sudutnya ada umpak-umpak batu yang diperkirakan sebagai penumpu tiang-tiang kayu yang digunakan untuk atap bangunan. Fungsi bangunan Bale Agung menurut N.J Krom seperti juga di Bali dipergunakan untuk tempat musyawarah para pendeta atau pendanda.

b. Pendopo Teras
Lokasi bangunan terletak di sebelah tenggara bangunan Bale Agung. Pendopo Teras seluruhnya terdiri dari batu, berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 29,05 m x 9,22 m x 1,5 m. Diperkirakan Pendopo Teras digunakan sebagai tempat untuk menaruh sesaji dalam rangka upacara keagamaan atau tempat peristirahatan raja dan bangsawan lainnya. Pada sisi barat terdapat dua buah tangga naik yang berupa undak-undakan, tangga ini tidak berlanjut didinding bagian timur. Pada masing-masing sudut tangga masuk di sebelah kiri dan kanan pipi tangga terdapat arca raksasa kecil bersayap dengan lutut kaki ditekuk pada satu kakinya dan salah satu tangannya memegang gada. Pipi tangga bagian yang berbentuk ukel besar berhias tumpal yang indah.

relief sri tanjung
Gambar: Relief Tanjung Candi Penataran


Bangunan Pendopo Teras berangka tahun 1297 Saka atau 1375 Masehi. Letak pahatan tahun ini agak sulit mencarinya karena berbaur dengan hiasan yang berupa sulur daun-daunan, lokasinya berada di pelipit bagian atas dinding sisi timur. Seperti pada Bale Agung, Pendopo Teras juga dililit teras ular yang ekornya saling berbelitan, kepalanya tersembul ke atas di antara pilar-pilar bangunan. Kepala ular sedikit mendongak ke atas, memakai kalung dan berjambul. Pada dinding Pendopo Teras terdapat relief-relief yang menceritakan kisah tentang Bubuksah-Gagang Aking yang didalam cerita rakyat dikenal Syeh Bela-belu dan Syeh Dami aking, Sang Setyawan dan Sri Tanjung. Ceritanya seperti ini, Bhuksa digambarkan sebagai sesosok makhluk yang berbadan besar, suka memakan apapun, ikhlas dan tidak pernah tidur. Sedangkan Gagang aking, kurus kering, suka berpuasa dan juga suka tidur. Suatu saat Dewa Syiwa berubah menjadi macan putih guna menguji kedua orang tersebut. Tanggapan dari Gagang Aking ”saya orangnya kurus, jangan makan saya tetapi makan teman saya saja” sedangkan Bhuksa ”silahkan makan saya saja”. Dalam ujian tersebut Bhuksa lulus dan ia kemudian masuk Surga. Hikmah yang bisa dipetik dari kisah tersebut yakni manusia harus ikhlas dalam menjalani hidup ini.

c. Candi Angka Tahun
Candi Angka Tahun berangka tahun 1291 Saka atau 1369 Masehi. Masyarakat Jawa Timur lebih mengenalnya dengan Candi Brawijaya yang merupakan maskot Candi Penataran dan juga digunakan sebagai lambang kodam V Brawijaya. Terkadang ada juga yang menyebutnya Candi Ganesha karena didalam bilik candinya terdapat sebuah arca Ganesha. Lokasi candi berada di sebelah tenggara bangunan pendopo teras dalam jarak sekitar 20 meter. Pintu masuk candi terletak di bagian barat, pipi tangganya berakhir pada bentuk ukel besar dengan hiasan tumpal yang berupa bunga-bungaan dalam susunan segitiga sama kaki. Bagian dalam relung candi terdapat sebuah arca Ganesha dari batu dalam posisi duduk di atas padmasana. Pada bagian atas bilik candi pada batu penutup sungkup terdapat relief “Surya Majapahit” yakni lingkaran yang dikelilingi oleh pancaran sinar yang berupa garis-garis lurus dalam susunan beberapa buah segitiga sama kaki. Relief Surya Majapahit juga ditemukan di beberapa candi yang lain di Jawa Timur ini dalam variasi yang sedikit berbeda sebagai tanda cap kerajaan.

candi angka tahun
Gambar: Candi Angka Tahun


Candi Angka Tahun seperti umumnya bangunan-bangunan candi lain, terdiri dari bagian-bagian yang disebut kaki candi yaitu bagian candi yang bawah, kemudian tubuh candi, terdapat bilik atau kamar candi (gerbagerha) dan kemudian mahkota bangunan yang berbentuk kubus. Pada bagian mahkota terdapat hiasan yang meriah dan pada masing-masing dinding tubuh candi terdapat relung-relung atau ceruk yang berupa pintu semu yang di bagian atasnya terdapat kepala makhluk yang bentuknya menakutkan. Kepala makhluk seperti ini disebut kepala kala yang di Jawa Timur sering disebut Banaspati yang berarti raja hutan atau juga bisa disebut singa atau harimau. Penempatan kepala kala di atas relung candi dimaksudkan untuk menakut-nakuti roh jahat agar tidak berani masuk komplek percandian. Sementara itu pada sekeliling bangunan ini terdapat sisa-sisa tembok bata yang tinggal bagian dasarnya dengan pintu masuk di sisi barat laut. Bangunan-bangunan di halaman pertama ini seluruhnya terbuat dari batu andesit. Kecuali dua buah pondasi dari bata berdenah persegi panjang, terletak di sebelah timur laut candi angka tahun ini. Di sebelah kiri candi angka tahun terdapat arca wanita Rajapatni.

2. Halaman B
Memasuki halaman kedua dari Candi Penataran, kita akan disambut oleh dua buah arca Dwaraphala dalam ukuran yang lebih kecil dibanding Dwaraphala pintu masuk candi. Seperti pada arca Dwaraphala di pintu masuk, Dwaraphala ini pun pada lapik arcanya juga terpahat angka tahun, tertulis tahun 1214 Saka atau 1319 Masehi, setahun lebih tua dibanding Dwaraphala di pintu masuk, juga di zaman Raja Jayanegara. Halaman B terbagi menjadi dua bagian oleh tembok bata yang membujur arah percandian di tengah halaman. Tembok tersebut sekarang hanya tinggal pondasinya saja yang masih terlihat. Pada bagian timur laut ada enam buah sisa bangunan dari batu maupun dari bata. Tiga buah tinggal sisanya berupa pondasi dari bata, dua buah berupa batur dan sebuah lagi berupa candi tanpa penutup di atasnya. Batur pertama terbuat dari batu bercampur bata dengan ukuran lebih besar dibanding batur satunya yang khusus terbuat dari batu.

Pada bagian dalam halaman B terdapat Candi Naga yang hanya tersisa bagian kaki dan badan dengan ukuran lebar 4,83 meter, panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter. Nama Candi Naga dipakai untuk menamakan bangunan ini karena sekeliling tubuh candi dililit naga dan disangga figur-figur atau tokoh-tokoh seperti raja sebanyak sembilan buah sebagai candrasengkala, masing-masing berada di sudut-sudut bangunan, bagian tengah ketiga dinding dan di sebekah kiri dan kanan pintu masuk, yang menggambarkan makhluk kayangan dilihat dari pakaian dan hiasan yang dipakainya. Salah satu tangannya memegang genta (bel upacara) dan tangan yang lainnya menyokong tubuh naga yang melingkar di bagian atas bangunan dalam keadaan berdiri dan menjadi pilaster bangunan. Masing-masing dinding tubuh candi dihiasi dengan relief-relief buatan yang disebut dengan motif medalion. Pintu masuk candi terletak di barat laut dengan pipi tangga berhiaskan tumpal dengan ukuran lebar 4,83 meter, panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter. Di depan telah disampaikan bahwa gambar naga di sangga 9 orang ini mengisyaratkan sebuah candra sengkala ”Naga muluk sinangga jalma” yang berarti angka tahun 1208 Saka atau 1286 M dimasa pemerintahan Kertanegara.

candi naga
Gambar: Candi Naga


Masih dalam lingkungan halaman B, terdapat sebuah pondasi dari bata yang terkesan menghadap barat daya, diketahui dari bidang menjorok ke sisi barat daya dan membentuk suatu pintu masuk. Lokasinya terletak di sebelah timur candi. Bagian barat daya terdapat dua buah sisa bangunan, yaitu sebuah pondasi dari bata berukuran 10 x 20 meter dan sebuah lagi berdenah bujur sangkar yang memiliki ciri-ciri sama dengan salah satu pondasi di bagian timur laut. Pada bagian sudut barat halaman ini terdapat sekumpulan ambang pintu yang terlepas dari bangunan aslinya. Pada ambang- ambang pintu itu beberapa diantaranya memuat angka tahun yang masih dapat terbaca dengan jelas, yaitu tahun 1245 Saka, 1294 Saka, 1295 Saka, dan dua buah lagi berangka tahun sama yaitu 1301 Saka. Ada dua buah arca Dwarapala lagi dengan angka tahun 1242 Saka terletak di pintu masuk ke halaman ketiga yang mungkin sebuah gapura paduraksa, karena dekat tempat itu terdapat reruntuhan sebuah pintu yang berangka tahun 1240 Saka.

3. Halaman C
Melewati pintu gerbang paduraksa yang hanya tinggal pondasi dan dua dwaraphala, sampailah di halaman ketiga terletak di ujung tenggara sebagai bagian paling belakang dari komplek candi dan terletak di tanah yang lebih tinggi dari yang lainnya. Karena adanya anggapan bahwa tempat tersebut merupakan tempat yang paling sakral. Ada sekitar 9 buah bekas bangunan di halaman ini yang letaknya tidak beraturan. Dua buah candi yang sudah dapat dikenali adalah bangunan candi induk dan prasasti Palah berupa linggapala. Sepanjang sisi barat laut terdapat lima buah sisa bangunan berupa pondasi dan batur dari batu atau bata. Satu daiantaranya sebuah batur yang terdapat relief-relief ceritera candi. Tingginya sekitar satu meter.

Pada halaman C ini terdapat bangunan candi induk yang terdiri dari tiga teras tersusun dengan tinggi 7,19 meter. Pada masing-masing sisi tangga terdapat dua arca mahakala, yang pada lapiknya terdapat angka tahun 1269 Saka atau 1347 M. Sekelling dinding candi pada teras pertama terdapat relief cerita Ramayana. Untuk dapat membacanya harus mengikuti arah prasawiya, dimulai dari sudut barat laut. Pada teras kedua sekeliling dinding dipenuhi pahatan relief ceritera Krçnayana yang alur ceriteranya dapat diikuti secara pradaksina (searah jarum jam). Sedangkan di teras ke tiga berupa relief naga dan singa bersayap. Teras ketiga bentuknya hampir bujur sangkar, dinding-dindingnya berpahatkan arca singa bersayap dan naga bersayap. kepalanya sedikit mendongak ke depan sedangkan singa bersayap kaki belakangnya dakam posisi berjongkok sedang kaki depan diangkat ke atas.

candi induk penataran
Gambar: Candi Induk Penataran


Pada sisi sebelah barat daya halaman terdapat dua buah sisa bangunan. Sebuah candi kecil dari batu yang belum lama runtuh yang oleh orang Belanda dulu dinamakan ”klein heligdom” atau bathara kecil. Nampaknya candi inilah yang mula-mula dibuat bersamaan dengan parasasti Palah melalui upacara pratistha tersebut. Sebuah sisa yang lain berupa pondasi dari bata. Kedua sisa bangunan ini menghadap ke arah barat daya. Sederet dengan sisa kedua bangunan ini berdiri sebuah lingga batu yang disebut Prasasti Palah. Dalam area komplek percandian juga terdapat sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka atau 1415 Masehi yang terletak di belakang candi sebelah tenggara.


B. SEJARAH CANDI PENATARAN
Prasasti Palah menerangkan bahwa “menandakan Kertajaya senang dengan kenyataan tidak terjadi sirnanya empat penjuru dari bencana” dari kalimat ”tandhan krtajayayåhya / ri bhuktiniran tan pariksirna nikang sang hyang catur lurah hinaruhåra nika”. Rasa senangnya tersebut kemudian beliau curahkan dengan perintah dibangunnya prasasti yang tertulis dalam sebuah linggapala oleh Mpu Amogeçwara atau disebut pula Mpu Talaluh. Bangunan tersebut beliau fungsikan untuk menyembah Bathara Palah, seperti yang tertuang dalam prasasti tersebut yang beerbunyi “sdangnira Çri Maharaja sanityangkên pratidina i sira paduka bhatara palah” yang berarti “Ketika beliau Sri Maharaja senantiyasa setiap hari berada di tempat bathara Palah”.

Kitab Pararaton menyebutkan bahwa keruntuhan Kadiri dikarenakan majunya Ken Arok sebagai Akuwu Tumapel. Kemudian dirinya merebut Kadiri dan mendirikan Singasari dengan wangsanya, wangsa Rajasa (1222-1227). Saat itu keadaan Prasasti Palah kurang mendapat perhatian dikarenakan kemelut yang tengah terjadi di Singasari, perebutan kekuasaan. Pada masa Anusapati hanya meninggalkan patung Ganesha yang berangka tahun 1161 Saka dilambangkan dalam candra sengkala melalui wujud Ganesha itu sendiri ”Hana Ghana Hana Bhumi” atau tahun 1239 M. Penempatan Ganesha di pinggir sungai Brantas yang berdekatan dengan muara sungai Lahar diduga sebagai upaya untuk menghalang-halangi siapapun yang hendak melakukan pemujaan terhadap Bathara Palah. Perhatian terhadap prasasti Palah kembali pada tahun 1286, pada masa pemerintahan Kertanegara. Beliau mendirikan Candi Naga dengan hiasan relief naga yang disangga oleh 9 orang sebagai lambang candrasengkala ”Naga muluk sinangga jalma” atau tahun 1208 Saka.

Berdirinya Majapahit dapat dilihat di lapik arca Dwaraphala. Pada masa pemerintahan Jayanegara candi Penataran mulai mendapat perhatian kembali, kemudian dilanjutkan pada masa Tribuanatunggadewi dan Hayam Wuruk. Pemujaan terhadap Dewa Palah semakin kental diwarnai pemujaan kepada Dewa Gunung atau Syiwa. Candi Penataran diresmikan sebagai candi negara dengan status dharma lepas. Sesuai angka tahun yang dipahatkan didinding kolam yaitu tahun 1337 Saka atau tahun 1415 M merupakan angka tahun termuda diantara angka-angka tahun yang terdapat di kompleks candi Penataran tersebut. Waktu itu Majapahit didalam masa pemerintahan Wikramawardhana.

Sejak runtuhnya Majapahit yang disusul dengan berpindahnya keyakinan penduduk setempat yakni Islam, keadaan Candi Penataran sanagt memprihatinkan. Bengunan tersebut tidaka ada yang merawat sampai tertimbun longsoran tanah dan semak belukar, yang nampak hanyalah puing-puing yang berserakan. Keadaan tersebut diperparah dengan diambilnya batu-batu candi oleh penduduk setempat guna keperluan alas bangunan rumah atau pengeras jalan, sedangkan batu bata merahnya di tumbuk untuk dijadikan semen merah. Keadaan tersebut berakhir dengan kedatangan para peneliti pada sekitar permulaan abad XIX. Mulai saat itu diadakanlah rekonstruksi dan pemugaran. Candi Penataran ditemukan kembali pada tahun 1815. Penemunya adalah Sir Thomas Stamfort Raffles, letnan gubernur jendral kolonial Inggris yang berkuasa di negara Indonesia pada waktu itu.


Description: candi penataran, candi penataran blitar, candi hindu

Candi Brahu

Candi Brahu terletak di Pedukuhan Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Propinsi Jawa Timur. Tepat di depan kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur yang terletak di jalan raya Mojokerto - Jombang, terdapat jalan masuk ke arah utara yang agak sempit. Candi Brahu terletak di sisi kanan jalan kecil tersebut, sekitar 1,8 km dari jalan raya. Denah bangunan bujur sangkar dan arah hadapnya ke barat dengan azimuth 227°. Ukuran bangunan : tinggi 25,7 m, serta lebar 20,7 m.


A. STRUKTUR BANGUNAN CANDI BRAHU
Struktur bangunan Candi Brahu terdiri dari kaki candi, tubuh candi dan atap candi. Kaki candi terdiri dari bingkai bawah, tubuh candi serta bingkai atas.Bingkai tersebut terdiri dari pelipit rata, sisi genta dan setengah lingkaran.Dari penelitian yang terdapat pada kaki candi diketahui terdapat susunan bata yang strukturnya terpisah, diduga sebagai kaki candi yang dibangun pada masa sebelumnya.Ukuran kaki candi lama ini 17 x 17 m. Dengan demikian struktur kaki yang sekarang merupakan tambahan dari bangunan sebelumnya. Kaki Candi Brahu terdiri dari dua tingkat dengan selasarnya serta tangga di sisi barat yang belum diketahui bentuknya dengan jelas. Bagian tubuh Candi Brahu sebagian merupakan susunan bata baru yang dipasang pada masa pemerintahan Belanda.

Bentuk tubuh Candi Brahu tidak tegas persegi, melainkan bersudut banyak, tumpul dan berlekuk. Bagian tengah tubuh candi melekuk ke dalam seperti pinggang. Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu bata pada dinding barat atau dinding depan candi. Atap candi juga tidak berbentuk prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak datar. Candi Brahu dibangun dari bata yang direkatkan satu sama lain dengan sistem gosok. Sebagai bahan perbandingan, ciri-ciri candi Jawa Timur adalah bentuk bangunannya ramping, atapnya merupakan perpaduan tingkatan, puncaknya berbentuk kubus, makara tidak ada, dan pintu serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kala, reliefnya timbul sedikit saja dan lukisanya simbolis menyerupai wayang kulit, letak candi di belakang halaman, kebanyakan menghadap ke barat, sebagian besar terbuat dari batu bata merah. Penggunaan batu bata merah disebabkan karena faktor lingkungan yang kurang mendukung dengan tidak adanya batu andesit seperti yang digunakan pada candi-candi di Jawa Tengah.

Brahu
Gambar : Candi Brahu


Denah Candi Brahu berukuran 10 x 10,5 m dengan tinggi 9,6 m. Di dalamnya terdapat bilik berukuran 4x4 m, namun kondisi lantainya telah rusak. Pada waktu pembongkaran struktur bata pada bilik ini ditemukan sisa - sisa arang yang kemudian dianalisa di Pusat Penelitian Tenaga Atom Nasional (BATAN) di Yogyakarta.Hasil analisa menunjukkan bahwa pertanggalan radio karbon arang Candi Brahu berasal dari masa antara tahun 1410 hingga 1646 masehi.

Atap Candi Brahu tingginya kurang lebih 6 m. Pada sudut tenggara atap terdapat sisa hiasan berdenah lingkaran yang diduga sebagai bentuk stupa. Berdasarkan gaya bangunan serta profil sisa hiasan yang berdenah lingkaran pada atap candi yang diduga sebagai bentuk stupa, para ahli menduga bahwa Candi Brahu bersifat Budhis. Selain itu diperkirakan Candi Brahu umurnya lebih tua dibandingkan dengan candi-candi yang ada di situs Trowulan. Dasar dugaan ini adalah prasasti tembaga Alasantan yang ditemukan tidak jauh dari Candi Brahu, kira-kira sekitar 45 m di sebelah barat Candi Brahu. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Raja Mpu Sindok pada tahun 861 Saka 939 M, di antara isinya menyebutkan nama sebuah bangunan suci yaitu Waharu atau Warahu. Nama istilah inilah yang diduga sebagai asal nama Candi Brahu sekarang. Candi Brahu dipugar pada tahun 1990/1991 sampai dengan 1994/1995.

Dari reliefnya, candi ini adalah gambaran sinkretisme keagamaan antara agama Hindu dan agama Budha, dan dengan gambaran sinkretisme tersebut, hingga saat ini pemeliharaan Candi Brahu dilakukan oleh kedua agama tersebut. Awalnya candi ini berfungsi sebagai tempat pembakaran raja-raja Majapahit, namun asumsi tersebut tidak terbukti karena tidak ditemukannya sisa–sisa abu pembakaran jenazah. Berbeda dengan ritual pemujaan pada situs pemujaan lainnya, di sini aktifitas tersebut dilakukan hanya dengan cara meletakkan sesaji pada bagian depan dan pintu candi yang menghadap ke arah barat.

letak candi brahu
Gambar: Lokasi Candi Brahu


Meskipun tidak terbukti, menurut masyarakat sekitar Candi Brahu, candi ini dahulunya berfungsi sebagai tempat pembakaran jenasah dari Raja Brawijaya I sampai IV. Akan tetapi, hasil penelitian yang dilakukan terhadap Candi Brahu tersebut tidak menunjukkan adanya bekas-bekas abu atau mayat, karena bilik candi sekarang sudah kosong. Candi Brahu tidak berdiri sendiri, disekitarnya terdapat beberapa bangunan candi-candi lain, yaitu candi Gentong. Candi Gentong berjarak kurang lebih sekitar 360m dari Candi Brahu. Dan candi-candi lainnya ialah Candi Gedong dan Candi Tengah yang sekarang sudah tidak nampak lagi. Di sekitar Candi Brahu pernah ditemukan benda-benda kuno, antara lain :
  1. Benda-benda semisal perhiasan dari emas dan perak.
  2. 6 buah arca yang bersifat agama Budha.
  3. Piring perak yang bagian bawah bertuliskan tulisan kuno.
  4. 4 lempeng prasati tembaga pada masa Raja Mpu Sindok.


B. SEJARAH CANDI BRAHU
Candi Brahu merupakan salah satu candi yang ada dalam lingkungan situs Trowulan Kerajaan Majapahit. Candi Brahu sudah ada sebelum masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk bahkan diperkirakan juga sudah ada sebelum masa Raja Brawijaya I. Dapat dikatakan bahwa Candi Brahu merupakan candi yang paling tua dibandingkan dengan candi-candi lainnya yang ada di daerah situs Trowulan. Candi Brahu didirikan oleh Mpu Sindok yang sebelumnya ia merupakan raja dari Kerajaan Mataram Kuno yang ada di Jawa Tengah. Hal ini dijelaskan dari nama Brahu dihubungkan diperkirakan berasal dari kata 'Wanaru' atau 'Warahu', yaitu nama sebuah bangunan suci keagamaan yang disebutkan di dalam prasasti tembaga 'Alasantan' yang ditemukan kira-kira 45 meter disebelah barat Candi Brahu. Prasasti ini dibuat pada tahun 861 Saka atau, tepatnya, 9 September 939 M atas perintah Raja Mpu Sindok dari Kahuripan. Dari penuturan prasasti itu dijelaskan bahwa Candi Brahu yang didirikan oleh masa Mpu Sindok ialah candi yang usianya lebih tua dibanding candi-candi lain bahkan lebih tua dari Kerajaan Majapahit. Pada masa Kerajaan Majapahit, Candi Brahu digunakan sebagai tempat persembayangan atau merupakan bangunan suci yang digunakan untuk berdoa.Hal ini dapat dilihat dari temuan-temuan yang berada di candi tersebut seperti beberapa benda yang kerap menjadi alat-alat upacara keagamaan seperti alat-alat upacara dari logam.

candi brahu
Gambar : Candi Brahu


Menurut beberapa penelitian, Candi Brahu dinyatakan sebagai candi agama Budha. Anggapan ini muncul karena candi Brahu memiliki stupa yang kerapnya menjadi ciri-ciri bagi candi agama Budha. Selain itu bentuk dari Candi Brahu yang lebih berbeda dibanding candi-candi lain di situs Trowulan Kerajaan Majapahit, bentuk tubuh Candi Brahu tidak tegas persegi melainkan bersudut banyak, tumpul dan berlekuk. Bagian tengah tubuhnya melekuk ke dalam seperti pinggang. Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu bata pada dinding barat atau dinding depan candi.

Atap candi juga tidak berbentuk berbentuk prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak datar, hal tersebut memunculkan anggapan bahwa Candi Brahu didirikan bukan pada masa kerajaan Majapahit, melainkan merupakan bangunan candi yang dibangun sebelum Kerajaan Majapahit. Selain itu anggapan lain yang menerangkan bahwa Candi Brahu merupakan candi agama Budha ialah penemuan beberapa benda-benda kuno. Disekitar kompleks candi Brahu pernah ditemukan benda-benda kuno, antara lain alat upacara dari logam, perhiasan dan benda-benda dari emas, dan arca-arca logam di mana hal tersebut menunjukkan adanya cirri-ciri agama Budha. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa candi Brahu merupakan candi Budha .


C. KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT SEKITAR CANDI
Pemukiman terpencar-pencar di lembah-lembah sungai ataupun pegunungan-pegunungan. Tempat-tempat tersebut masih sedikit penduduknya,maka banyak masyarakat-masyarakat desa yang memiliki hutan dan tanah persawahan yang luas.Tanah yang dimiliki oleh para rakyat kebanyakan atau golongan bangsawan biasa atau golongan bangsawan agama. Dari situlah tumbuh masyarakat seperti masyarakat lingkungan yang meninggali wilayah yang berdekatan dengan bangunan suci seperti candi yang terdapat golongan agamawan yang disekelilingnya masyarakat sekitanya bekerja sebagai tani.

Kehidupan sosial masyarakat sekitar Candi Brahu pada waktu itu kurang lebih sama seperti daerah kehidupan sosial masyarakat sekitar peninggalan candi yang lainnya di situs Trowulan. Kehidupan masyarakat sekitar Candi Brahu tak jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat pada perkembangan kerajaan Majapahit, walau Candi Brahu dimungkinkan berdiri sebelum Kerajaan Majapahit itu sendiri. Masyarakat di sekitar Candi Brahu sangat menginternal sekali, di dalam diri mereka kebudayaan serta keahlian para leluhurnya sangatlahdihargai dan mereka terus lestarikan sesuai tradisi yang ada. Dengan adanya regenerisasi kebudayaan tersebut mencerminkan bahwa masyarakat sekitar Candi Brahu sangat menghargai,menghormati, peduli serta menjunjung tinggi terhadap kebudayaan leluhur mereka.

Sebagai lingkungan candi yang dipergunakan sebagai tempat keagamaan, lingkungan sekitar Candi Brahu menjadi lingkungan yang menumbuhkan masyarakat yang sadar betul akan kehidupan beragama. Di lingkungan Candi Brahu ada pula lingkungan kaum agama yang biasa hidup berkelompok di sekitar bangunan agama, seperti mandala, dharma, sima, wihara dan sebagainya.Pada umumnya mandala memperoleh kebebasan yang luas.Mereka dinyatakan bebas dari pembayaran pajak dan hanya diwajibkan membayar beberapa yang memang sudah lazim.Mereka berada dibawah kekuasaaan pendeta tertinggi, bebas dari campur tangan raja dan bebas dari kewajiban pemilik tanah sekuler. Sama seperti halnya Candi Brahu yang dinyatakan sebagai tempat pendarmaan raja Brawijaya yang jelas merupakan bangunan suci keagaaman dan tentunya mendapat asuhan dari para pendeta yang berada di mandala.Hal itu membuktikan bahwa adanya lingkungan yang ditempati kaum agamawan.

Ada pula kehidupan yang di bagi-bagi sesuai golongan menurut pekerjaan dari penduduk desa, seperti golongan keluarga tani bebas (rama) dan anggota komunitas biasa (dapur) yang diperintah oleh para pengetua(buyut). Dapur ialah bentuk kelompok masyarakat asli yang tertua dan penduduknya ialah apa yang dinamakan kulina, yaitu para masyarakat dari keluarga petani kuno, penduduk asli daerah dan anak keturunan cikal-bakal desa. Mereka merupakan penduduk asli desa.

Kebanyakan profesi masyarakat desa ialah menjadi petani yang dimana petani terbagi menjadi beberapa golongan diantaranya petani yang menggarap tanah sendiri atau milik tuan tanah atau dan buruh tani. Didaerah kaum agamawan, para bangsawan menyuruh budak-budak untuk mengolah tanah mereka dan memungut panennya, sebagian pengolahan tanah dan panen diserahkan kepada pekerja dari masyarakat desa yang ada didekatnya, dan juga para kaum agamawan.Para pekerja itu dibayar dengan sebagian dari hasil panen yang ditetapkan menurut adat.


Description: candi brahu, brahu, candi-candi

Candi Tikus

Jawa Timur merupakan sebuah daerah yang mempunyai arti tersendiri dalam sejarah kuno bangsa Indonesia. Disanalah terdapat peninggalan-peninggalan kuno dan penting dari peradaban bangsa Indonesia kuno. Disanalah berdiri kerajaan besar yaitu Majapahit yang meninggalkan begitu banyak warisan yang adiluhung. Selain Majapahit, disanalah tempat berdirinya kerajaan-kerajaan besar bercorak Hindu-Budha. Berbagai warisan unsur dari aliran agama Hindu-Budha seperti Tantrayana, dapat kita temui disana. Sangatlah menarik jika kita mencoba menguak misteri kehidupan masa lalu dengan berlandaskan disiplin ilmu pengetahuan kita dan peninggalan-peninggalan yang ada. Dan Jawa Timur merupakan sebuah sebuah tempat yang tepat bagi kita untuk keperluan itu. Disanalah pernah tumbuh dan berkembang kerajaan-kerajaan besar yang ikut menentukan arah perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Namun, secara keseluruhan Jawa Timur memang sebuah tempat yangn tepat bagi para sejarawan dan ahli purbakala untuk melakukan penelitian karena Jawa Timur menyimpan begitu banyak benda-benda bersejarah dan situs-situs yang tak ternilai harganya . Salah satu warisannya adalah Candi Tikus.

Candi Tikus merupakan pertirtaan, yang terbuat dari batu merah, kecuali pancuran-pancuran terbuat dari batu andesit. Dan bangunan kurang lebih 3,50 m dibawah permukaan tanah, bentuknya bujur sangkar dengan ukuran 22,5 m x 22,5 m. Dinamakan Candi Tikus karena pada tahun 1914 di daerah Temon sedang diserang hama tikus, sehingga penduduk mengalami hambatan dan gagal panen. Kemudian masyarakat bermusyawarah bagaimana mengatasi hama tikus itu. Lalu masyarakat mufakat mengadakan pegejaran dan penggalian sarang tikis secara masal. Sehingga setiap sarang yang akan digali, ternyta dalam penggalian terdapat slah satu temuan terminatur candi, yang pada waktu itu lokasi ini merupakan gundukan tanah dan tempat makam rakyat setempat.

Kemudian temuan terminatur candi dilaporkan kepada bupati mojokerto yang bernama R. A. Kromodjojo Adinegoro. Atas ijin dinas purbakala yang pada waktu itu bernama Oudheldkundige Dients. Penggalian menampakan seluruh bangunan selesai pada tahun 1916, yang pendiriannya diperkirakan pada abad VIII sampai XIV. Namun, mengenai fungsi candi belum diketahui secara pasti, dengan melihat bentuknya merupakan sebuah pemandian suci. Susunan candinya melambangkan gunung mahameru tempat para dewa bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-pancuran yang terdapat di sepanjang kaki candi.


A. LETAK DAN KONDISI GEOGRAFIS CANDI TIKUS
Candi Tikus terletak di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Candi Tikus merupakan bagunan pertirtaan. Hal ini terlihat dari adanya miniatur candi di tengah bangunanya yang melambangkan Gunung Mahameru tempat para dewa bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-pancuran/ jaladwara yang terdapat disepanjang kaki candi. Secara garis besar bangunan Petirtaan Tikus terdiri atas beberapa bagian sebagai berikut, antara lain:

candi tikus
Gambar : Candi Tikus


1. Bangunan Induk
bangunan induk candi tikus
Bentuk bangunan ini makin ke atas makin kecil dan dikelilingi oleh delapan menara yang lebih kecil bagaikan puncak gunung yang dikelilingi delapan puncak yang lebih kecil. Bangunan induk luasnya 7,65 x 8,75 meter dengan tinggi 5,20 meter. Secara horizontal bangunan induk dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: kaki, tubuh dan atap. Kaki bangunan berbentuk segi empat dengan profil berpelipit. Pada lantai atas kaki bangunan terdapat saluran air dengan ukuran 17 cm dan tinggi 54 cm serta mengelilingi tubuh. Sedangkan, pada sisi luar terdapat jaladwara. Selain itu, terdapat pula menara-menara yang disebut menara kaki bangunan karena adanya bagian kaki bangunan. Ukurannya 80x80 cm. Pada lantai atas kaki bangunan ini berdiri tubuh bangunan dengan denah segi empat, sedangkan di bawah susunan batanya terdapat pula kaki tubuh tempat tiap berdiri menara yang disebut menara tubuh. Selain itu, di setiap bagian dinding tubuh terdapat bangunan menara yang lebih besar dan berukuran 100x140 cm, tinggi 2,78 meter.

2. Kolam
kolam candi tikus
Di sebelah timur laut dan barat laut bangunan induk terletak dua bangunan yang berbentuk kolam dan disebut “kolam barat” dan “kolam timur”. Kolam yang berada di kanan dan kiri tangga masuk ini masing-masing berukuran panjang 3,50 meter, lebar 2 meter, tinggi, 1,50 meter dan tebal dinding 0,80 meter. Pada sisi utara dinding kolam bagian dalam terdapat tiga jaladwara dengan ketinggian kurang lebih 80 cm dari lantai kolam. Bagian luar kolam (sisi selatan) terdapat tangga masuk ke bilik kolam yang lebar 1,20 meter. Di bagian dalamnya terdapat semacam pelipit setebal 3,50 cm. Kemudian, di atas dan bawah tangga masuk sisi timur ada dua saluran air.

3. Dinding Teras
dinding teras
Bangunan dinding ini terdiri atas tiga teras yang mengelilingi bangunan induk dan kolam. Fungsi teras sebagai penahan desakan air dari sekitarnya, karena bangunan ada di bawah permukaan tanah. Selain itu, juga sebagai penahan longsor. Dinding teras pertama berukuran 13,50 x 15,50 meter, sedangkan lebar lantai teras 1,89 meter. Pada kaki terasnya yang berpelipit ada pancuran air yang berbentuk padma dan makara. Sedangkan, di bawah lantai teras terdapat saluran air berukuran 0,20 meter dan tinggi 0,46 meter. Saluran ini berhubungan dengan saluran yang ada pada bangunan induk dan diperkirakan saluran tersebut dipergunakan untuk mengalirkan air yang berasal dari bangunan induk tersebut (keluar melalui pancuran yang terdapat di bagian dalam dinding kolam sisi utara). Dinding teras tingkat dua berukuran 17,75x19,50 meter. Lebar lantai 1,50 meter dan tingginya 1,42 meter serta tebal dinding teras tersebut sebanyak 17 lapis bata. Sementara, dinding teras tingkat tiga mempunyai ukuran 21,25x 22,75 meter dengan lebar lantai 1,30 meter, tinggi dinding 1,24 meter, dan tebal dinding 10 lapis bata.

4. Tangga Utama
tangga utama candi tikus
Tangga utama ini merupakan tangga menuju ke bangunan induk dan bilik kolam. Panjang tangga 9,50 meter, lebar 3,50 meter dan tinggi 3,50 meter. Sebagai catatan, pada sisi timur dan barat tangga teras satu dan teras dua terdapat pipi tangga yang menutupi jalan masuk ke teras satu dan dua.


5. Lantai Dasar
lantai dasar candi tikus
Lantai dasar terdiri dari susunan bata yang mempunyai permukaan atau bidang datar di bagian atasnya. Lantai tersebut tersusun dari dua lapis bata yang luasnya kurang lebih 100 meter persegi. Lantai ini berfungsi sebagai tempat berdirinya bangunan induk, kolam, dinding teras, dan tangga utama.

6. Pagar Tembok Luar
pagar tembok luar candi tikus
Pagar tembok berada di sisi utara, berjarak kurang lebih 0,80 meter dari dinding teras tiga, dan menjadi satu dengan pintu gerbang yang terdapat di tangga masuk.





B. ARTI FILOSOFIS BAGIAN BANGUNAN PETIRTAAN TIKUS
Trowulan merupakan salah satu situs yang banyak dikaji oleh para sejarawan dan arkeolog. Penelitian itu menghasilkan rekonstruksi tata kota Majapahit. Salah satu dasar yang rupanya digunakan dalam menentukan tata ruang dan letak bangunan di Majapahit dan di Jawa pada waktu itu adalah orientasi pada alam sekitarnya seperti gunung, dataran, dan laut. Gunung disimbolkan sebagai tempat suci. Bangunan air di kota Majapahit juga sudah tertata. Pengairan atau irigasi yang teratur sudah dikenal di Majapahit. Hal ini dapat dilihat dari bangunan-bangunan tadah air, dan petirtaan, seperti kolam Segaran, Petirtaan Tikus, dan sisa peninggalan-peninggalan saluran air.

Petirtaan Tikus terletak di Dusun Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Bangunan petirtaan didominasi oleh batu bata merah, sedangkan batu andesit digunakan untuk jaladwara (pancuran air). Pada dinding luar masing-masing kolam, berjajar tiga buah pancuran berbentuk padma (teratai) yang terbuat dari batu andesit. Seluruh pancuran dahulu mendapatkan air melalui saluran yang terdapat di bagian selatan, yaitu belakang candi induk, sementara saluran pembuangan terletak di lantai dasar.

Bangunan induk terletak di bagian tengah, kakinya menempel pada teras bawah dinding selatan dengan struktur bangunan induk terdiri dari kaki, tubuh dan atap. Kaki candi berbentuk sebuah bangunan persegi empat dengan ukuran panjang 7,75 m, lebar 7,65 m dan tinggi 1,5 m. Bangunan ini dianggap sebagai bangunan utama dari Petirtaan Tikus. Di atas bangunan ini terdapat sebuah menara berukuran 1X1,04 m berbentuk Meru dengan pucak datar. Menara bagian tengah ini dikelilingi oleh 8 menara sejenis dengan ukuran yang lebih kecil. Puncak menara-menara itu telah hilang sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti bentuk awalnnya. Di sekeliling dinding kaki bangunan, berjajar 17 pancuran berbentuk bunga teratai dan makara.

Susunan menara yang demikian menarik perhatian seorang Belanda yang bernama A.J Bernet Kempers. A.J Bernet Kempers mengaitkan bentuk menara dengan konsepsi religi yang terdapat dalam bukunya yang berjudul Ancient Indonesia Art. Orang inilah yang banyak berjasa dalam menyikap masa pengaruh agama Hindu-Budha di Indonesia lewat kajian candi-candi. Sejarawan inilah yang mengatakan bahwa Petirtaan Tikus merupakan replika dari gunung Meru.

Arsitektur bangunannya melambangkan kesucian Gunung Mahameru sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Menurut kepercayaan Hindu, Gunung Mahameru merupakan tempat sumber Tirta Amerta (air kehidupan) yang dipercaya mempunyai kekuatan magis dan dapat memberikan kesejahteraan. Sehingga air yang mengalir di Petirtaan Tikus dianggap bersumber dari Gunung Mahameru.

Selain itu, Petirtaan Tikus yang dianggap sebagai replika Gunung Meru yang merupakan gunung suci sebagai pusat alam semesta yang mempunyai suatu landasan kosmogoni yaitu kepercayaan yang mengharuskan adanya keserasian antara dunia (mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos). Berdasarkan landasan kosmogoni tersebut, maka setiap air yang keluar dari bangunan induk ini dipercaya sebagai air suci (amerta). Dalam konsepsi Hindu, alam semesta ini terdiri atas suatu benua pusat yang bernama Jambudwipa yang dikelilingi oleh tujuh lautan dan tujuh daratan dan semuanya dibatasi oleh suatu pegunungan tinggi.


C. PROSES PENEMUAN DAN PEMUGARAN
Petirtaan Tikus diresmikan pada tanggal 21 September 1989 oleh Dirjenbud Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Pada awalnya petirtaan ini ditemukan secara tidak sengaja, hal ini terlihat dari niat awal para petani desa disekitarnya untuk memusnahkan hama tikus yang menyebabkan kegagalan panen. Melihat seringnya tikus keluar masuk dari sebuah gundukan tanah, secara masal masyarakat melakukan penggalian terhadap gundukan tanah tersebut. Setelah dibongkar ternyata masyarakat mendapati sebuah meniatur candi yang terbuat dari bahan bata merah dengan denah persegi empat. Hal tersebut kemudian dilaporkan kepada Bupati Mojokerto yang bernama R.A.A Kromodjojo Adinegoro. Berdasarkan latar belakang penemuan tersebut, kemudian masyarakat lebih mengenal situs petirtaan tersebut dengan nama Petirtaan Tikus.

Petirtaan Tikus mengalami pemugaran pertama kali pada masa Hindia-Belanda dan dilakukan pemugaran oleh Pemerintah Indonesia melalui Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Bekas Kota Majapahit pada tahun 1984/1985-1988/1989. Dalam pemugaran ini berhasil disikap sisi tenggara bangunan Petirtaan Tikus. Dalam pemugaran ini pemerintah juga memperluas areal tanah, sehingga halaman desekitar petirtaan semakin luas.

Tidak adanya sumber sejarah tertulis yang menjelaskan keberadaan Petirtaan Tikus bukan berarti tidak diperoleh sumber informasi mengenai pembangunan petirtaan ini. Berdasarkan kajian arsitektural, diperoleh gambaran yang dapat ditujukan guna mencari dan menentukan saat dibangunnya petirtaan ini. Air ini dianggap sebagai air suci Amarta sumber segala kehidupan.


Description: candi tikus, petirtaan tikus, candi tikus majapahit