Cari kaos bagus? yuk merapat di Distro Surfingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Indonesia Masa Kolonial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Indonesia Masa Kolonial. Tampilkan semua postingan

Sistem Tanam Paksa dan Dampaknya

Sejak VOC dibubarkan tahun 1799, daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya diambil alih oleh pemerintah kerajaan Belanda. Kebijakan 'Culture Stelsel' dilaksanakan untuk mengeruk kekayaan bumi Indonesia tanpa mau memperhatikan rakyat Indonesia dibawah pimpinan Van Den Bosch. Secara teoritis, peraturan yang ditetapkan dalam sistem tanam paksa tidak memberatkan. Akan tetapi dalam prakteknya, banyak sekali penyimpangan yang dilakukan dalam sistem ini. Penyimpangan pelaksanaan sistem tanam paksa sebagai berikut:
  1. Dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk 'cultur stelsel' adalah seperlima sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga dan bahkan setengah dari sawah milik pribumi.
  2. Tanah petani yang dipilih hanya tanah yang subur, sedangkan rakyat hanya mendapat tanah yang tidak subur.
  3. Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak sesuai dengan perjanjian.
  4. Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah.
  5. Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.
  6. Penduduk yang tidak memiliki tanah dipekerjakan di perkebunan Belanda, dengan waktu 3-6 bulan bahkan lebih.
  7. Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam, tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksimal.
  8. Kerusakan tanaman tetap ditanggung petani.

A. PENYIMPANGAN SISTEM TANAM PAKSA
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa banyak menyimpang dari ketentuan pokok dan cenderung mengadakan eksploitasi agraris yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Sistem Tanam Paksa mengakibatkan penderitaan bagi rakyat pedesaan di Pulau Jawa. Adapun penderitaan bangsa Indonesia akibat pelaksanaan sistem Tanam Paksa diantaranya:
  1. Rakyat makin miskin karena sebagian tanah dan tenaganya harus disumbangkan secara cuma-cuma kepada Belanda.
  2. Sawah dan ladang menjadi terlantar karena kewajiban kerja paksa yang berkepanjangan mengakibatkan penghasilan menurun.
  3. Beban rakyat makin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panen, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, serta menanggung risiko apabila panen gagal.
  4. Akibat bermacam-macam beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
  5. Bahaya kelaparan dan wabah penyakit timbul di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan yang menimbulkan korban jiwa terjadi di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian itu telah mengakibatkan penurunan jumlah penduduk secara drastis. Di Demak jumlah penduduknya yang semula 336.000 jiwa turun sampai dengan 120.000 jiwa, di Grobogan dari 89.500 turun sampai dengan 9.000 jiwa. Demikian pula yang terjadi di daerah-daerah lain, penyakit busung lapar (hongerudeem) merajalela.

tanam paksa
Gambar: Tanam Paksa

Pelaksanaan sistem tanam Paksa menyebabkan bangsa Indonesia menderita, sehingga muncul reaksi berupa perlawanan. Pada sisi yg lain, orang-orang Belanda sendiri juga banyak yang menentangnya. Sistem tanam paksa ditentang, baik secara perseorangan maupun melalui parlemen di Negeri Belanda.


B. TOKOH-TOKOH PENENTANG TANAM PAKSA
Golongan yang menentang tanam paksa di Indonesia sendiri terdiri atas golongan bawah yang merasa iba mendengar keadaan petani yang menderita akibat tanam paksa. Mereka menghendaki agar tanam paksa dihapuskan berdasarkan peri kemanusiaan. Kebanyakan dari mereka diilhami oleh ajaran agama. Sementara itu dari golongan menengah yang terdiri dari pengusaha dan pedagang swasta yang menghendaki agar perekonomian tidak saja dikuasai oleh pemerintah namun bebas kepada penanam modal. Tokoh Belanda yang menentang pelaksanaan Sistem tanam paksa di Indonesia, antara lain sebagai berikut.

1. Eduard Douwes Dekker (1820–1887)
eduard douwes dekker
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli sebelumnya adalah seorang residen di Lebak, (Serang, Jawa Barat). Ia sangat sedih menyaksikan betapa buruknya nasib bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa dan berusaha membelanya. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar (lelang kopi perdagangan Belanda) dan terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. Selain itu, ia juga mencela pemerintah Hindia-Belanda atas segala kebijakannya di Indonesia. Eduard Douwes Dekker mendapat dukungan dari kaum liberal yang menghendaki kebebasan. Akibatnya, banyak orang Belanda yang mendukung penghapusan Sistem Tanam Paksa.

2. Baron van Hoevell (1812–1870)
baron van hoevell
Selama tinggal di Indonesia, Baron van Hoevell menyaksikan penderitaan bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa. Baron van Hoevell bersama Fransen van de Putte menentang sistem tanam paksa. Kedua tokoh itu juga berjuang keras menghapuskan sistem tanam paksa melalui parlemen Belanda.







3. Fransen van der Putte (1822-1902)
fransen van der putte
Fransen van der putte yang menulis 'Suiker Contracten' sebagai bentuk protes terhadap kegiatan tanam paksa.











4. Golongan Pengusaha
Golongan pengusaha menghendaki kebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang didukung oleh kaum liberal mulai tahun 1865 sistem tanam paksa dihapuskan. Penghapusan sistem tanam paksa diawali dengan penghapusan kewajiban penanaman nila, teh, kayu manis (1965), tembakau (1866), tanaman tebu (1884) dan tanaman kopi (1916). Hasil dari perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya cultuur stelsel secara bertahap mulai tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa. Secara berangsur-angsur penghapusan cultuurstelsel adalah sebagai berikut.
  • Pada tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada.
  • Pada tahun 1865, penghapusan tanam paksa untuk the dan nila.
  • Pada tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan.

Karena banyaknya protes dan reaksi atas pelaksanaan sistem tanam paksa yang tidak berperikemanusiaan tidak hanya di negara Indonesia namun di negeri Belanda, maka sistem tanam paksa dihapuskan dan digantikan oleh politik liberal kolonial.


C. DAMPAK TANAM PAKSA
1. Bagi Belanda
  1. Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa.
  2. Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan.
  3. Belanda mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta gulden.
  4. Kas belanda yang semula kosong dapat dipenuhi.
  5. Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
  6. Belanda tidak mengalami kesulitan keuangan lagi dan mampu melunasi utang-utang Indonesia.
  7. Menjadikan Amsterdam sebagai pusat perdagangan hasil tanaman tropis.

2. Bagi Indonesia
  1. Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
  2. Beban pajak yang berat.
  3. Pertanian, khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen.
  4. Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana.
  5. Pemaksaan bekerja sewenang-wenang kepada penduduk pribumi.
  6. Jumlah penduduk Indonesia menurun.
  7. Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
  8. Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
  9. Memperkenalkan teknoligo multicrops dalam pertanian.


D. PENGARUH SISTEM TANAM PAKSA DI MASYARAKAT
1. Bidang Sosial
  1. Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. (Sartono, 1987: 321).
  2. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri.Penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
  3. Tanam paksa secara tidak sengaja juga membantu kemajuan bagi bangsa Indonesia, dalam hal mempersiapkan modernisasi dan membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan partikelir bagi bangsa Indonesia sendiri.
  4. Peranan bahasa melayu dan bahasa daerah dikalangan penguasa.

2. Bidang Ekonomi
  1. Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula.
  2. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.(Burger, 1977: 18).

Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial.


Description: penghapusan tanam paksa dan dampaknya, tanam paksa, penghapusan tanam paksa

Sistem Sewa Tanah Masa Raffles

Kemenangan Inggris dalam perang melawan Belanda-Prancis, menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara. Kekuasaan Inggris di Indonesia mencakup Jawa, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Madura, dan Sunda Kecil. Pusat pemerintahan Inggris atas Indonesia berkedudukan di Madras, India dengan Lord Minto sebagai gubernur jenderal. Daerah bekas jajahan Belanda dipimpin oleh seorang letnan gubernur yang bernama Stamford Raffles (1811-1816).

Selama pemerintahannya Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di Indonesia. Pembaharuan yang dilakukan Raffles di Indonesia secara teoritis mirip dengan pemikiran Dirk van Hogendorp pada tahun 1799. Inti dari pemikiran kedua orang tersebut adalah kebebasan berusaha bagi setiap orang, dan pemerintahan hanya berhak menarik pajak tanah dari penggarap. Pemerintahan dijalankan untuk mencapai kesejahteraan umum, dan kesadaran baru bahwa baik serikat dagang, terlebih kekuasaan negara tidak mungkin bertahan hidup dengan memeras masyarakatnya.

Gagasan Raffles mengenai sewa tanah ini dilatar belakangi oleh keadaan Jawa yang tidak memuaskan dan tidak adanya kebebasan berusaha. Gagasan dan cita-cita Raffles merupakan pengaruh dari Revolusi Perancis yaitu prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang semula tidak ada pada masa Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda, para pedagang pribumi dan Eropa mengalami kesulitan dalam hal berdagang. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem monopoli yang diterapkan pemerintah Belanda. Sistem monopoli yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda ini pada masa Raffles diganti dengan perdagangan bebas.

Selain itu adanya paksaan dari pemerintah Belanda kepada para petani untuk menyediakan barang dan jasa sesuai kebutuhan Belanda, mengakibatkan matinya daya usaha rakyat. Oleh karena itu, pada masa Raffles inilah masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam, dan penggunaan hasil usahanya sendiri. Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.

Tidak adanya kepastian hukum pada masa pemerintahan Belanda, telah mengakibatkan terjadinya kekacauan di berbagai daerah. Tidak adanya perlindungan hukum untuk para para penduduk mengakibatkan adanya sikap sewenang-wenang para penguasa pribumi. Tidak adanya jaminan bagi para petani mengakibatkan hilangnya dorongan untuk maju. Sesuai pernyataan Hogendorf, ia tidak percaya pendapat orang-orang Eropa tentang kemalasan orang Jawa, karena apabila diberi kebebasan menanam dan menjual hasilnya, petani-petani Jawa akan terdorong untuk menghasilkan lebih banyak dari pada yang dicapai dibawah masa Belanda.

Jika kebebasan dan kepastian hukum dapat diwujudkan, untuk mencapai kemakmuran orang-orang Jawa yang dahulunya tertindas akan dapat berkembang. Masyarakat pun dengan keinginannya sendiri akan menanam tanaman-tanaman yang diperlukan oleh perdagangan di Eropa. Semua ini pada akhirnya juga akan menguntungkan bagi perekonomian pihak Inggris.

Stelsel yang diterapkan pemerintah Belanda sangat ditentang oleh Raffles, hal ini dikarenakan munculnya penindasan dan menghilangkan dorongan untuk mengembangkan kerajinan. Secara makro kondisi ini akan menyebabkan rendahnya pendapatan negara atau negara mengalami kerugian. Pada hakikatnya pemerintahan Raffles menginginkan terciptanya suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan pemerintah Belanda.

raffles
Gambar: Thomas Stamford Raffles


Dalam pemerintahannya, Raffles menghendaki adanya sitem sewa tanah atau dikenal jugadengan sistem pajak bumi dengan istilah landrente. Dalam usahanya untuk melaksanakan sisten sewa tanah ini Raffles berpegang pada tiga azas, yaitu:
  1. Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu jenis tanaman, melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.
  2. Pengawasan tertinggi dan langsung dilakukan oleh pemerintah atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan dan sewanya tanpa perantara bupati-bupati, yang dikerjakan selanjutnya bagi mereka adalah terbatas pada pekerjaan-pekerjaan umum
  3. Menyewakan tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung dalam persil-persil besar atau kecil, menurut keadaan setempat, berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu yang terbatas.

Adanya suatu aparatur pemerintahan yang terdiri dari orang-orang Eropa dan mengesampingkan peranan penguasa pribumi (para bupati), menurut Raffles hal ini adalah salah satu tindakan penghapusan feodalisme Jawa. Para bupati dialih fungsinya menjadi pengawas ketertiban dan tidak boleh ikut dalam pemungutan pajak tanah (landrente). Tentang persewaan tanah, menurut Raffles pemerintah (gubernemen) sebagai pengganti raja-raja Indonesia merupakan pemilik semua tanah-tanah sehingga dengan demikian mereka boleh menyewakan tanah-tanah tersebut, yaitu dengan menuntut sewa tanah berupa pajak tanah maka pendapat negara akan baik.

Untuk menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas,yaitu:
  1. Kelas I, yaitu tanah yang subur, dikenakan pajak setengah dari hasil bruto.
  2. Kelas II, yaitu tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga darihasil bruto.
  3. Kelas III, yaitu tanah tandus, dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto.


A. PELAKSANAAN SEWA TANAH
Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816) oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles, yang banyak menghinpun gagasan sewa tanah dari sistem pendapatan dari tanah India-Inggris. Sewa tanah didasarkan pada pemikiran pokok mengenai hak penguasa sebagai pemilik semua tanah yang ada.

Thomas Stamford Raffles menyebut Sistem Sewa tanah dengan istilah landrente. Peter Boomgard (2004:57) menyatakan bahwa: Kita perlu membedakan antara landrente sebagai suatu pajak bumi atau lebihtepat pajak hasil tanah, yang diperkenalkan tahun 1813 dan masih terus dipungut pada akhir periode colonial, dan andrente sebagai suatu sistem (Belanda: Landrente Stelsel), yang berlaku antara tahun 1813 sampai 1830.

Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggungjawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. sistem sewa tanah ini pada mulanya dapat dibayar dengan uang atau barang, tetapi selanjutnya pembayarannya menggunakan uang. Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan, dan dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati.

Kepada para petani, Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan berusaha melalui sistem sewa tanah tersebut. Kebijakan Gubernur Jenderal Stamford Raffles ini, pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis dengan semboyannya mengenai “Libertie (kebebasan), Egaliie (persamaan), dan Franternitie (persaudaraan)”. Hal tersebut membuat sistem liberal diterapkan dalam sewa tanah, di mana unsur-unsur kerjasama dengan raja-raja dan para bupati mulai diminimalisir keberadaannya.

Sehingga hal tersebut berpengaruh pada perangkat pelaksana dalam sewa tanah, di mana Gubernur Jenderal Stamford Raffles banyak memanfaatkan colonial (Inggris) sebagai perangkat (struktur pelaksana) sewa tanah, dari pemungutan sampai pada pengadministrasian sewa tanah. Meskipun keberadaan dari para bupati sebagai pemungut pajak telah dihapuskan, namun sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral (struktur) dari pemerintahan colonial, dengan melaksanakan proyek-proyek pekerjaan umum untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.

Tiga aspek pelaksanaan sistem sewa tanah:
  1. Penyelenggaraan sistem pemerintahan atas dasar modern
    Pergantian dari sistem pemerintahan yang tidak langsung yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh para raja-raja dan kepala desa. Penggantian pemerintahan tersebut berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala tradisional sangat dikurangi dan sumber-sumber penghasilan tradisional mereka dikurangi ataupun ditiadakan. Kemudian fungsi para pemimpin tradisional tersebut digantikan oleh para pegawai-pegawai Eropa.
  2. Pelaksanaan pemungutan sewa
    Pelaksanaan pemungutan sewa selama pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam artian pajak tersebut dipungut bukan dasar perhitungan perorangan tapi seluruh desa. Pada masa sewa tanah hal ini digantikan menjadi pajak adalah kewajiban tiap-tiap orang bukan seluruh desa.
  3. Pananaman tanaman dagangan untuk dieksport
    Pada masa sewa tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnya tanaman kopi yang merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masa sistem sewa tanah mengalami kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasar bebas, karena para petani dibebaskan menjual sendiri tanaman yang mereka tanam.

Dua hal yang ingin dicapai oleh raffles melalui sistem sewa tanah ini adalah:
  1. Memberikan kebebasan berusaha kepada para petani Jawa melalui pajak tanah.
  2. Mengefektifkan sistem administrasi Eropa yang berarti penduduk pribumi akan mengenal ide-ide Eropa mengenai kejujuran, ekonomi, dan keadilan.

Pada sistem sewa tanah rakyat tetap saja harus membayar pajak kepada pemerintah. Rakyat diposisikan sebagai penyewa tanah, karena tanah adalah milik pemerintah sehingga untuk memanfaatkan tanah tersebut untuk menghasilkan tanaman yang nantinya akan dijual dan uang yang didapatkan sebagian kemudian digunakan untuk membayar pajak dan sewa tanah tersebut. Pada masa ini sistem feodalisme dikurangi, sehingga para kepala adat yang dahulunya memdapatkan hak-hak atau pendapatan yang bisa dikatakan irasional, kemudian dikurangi.

Setiap orang dibebaskan menanam apa saja untuk tanaman ekspor, dan bebas menjualnya kepada siapa saja di pasar yang telah disediakan oleh pemerintah. Tetapi karena kecenderungan rakyat yang telah terbiasa dengan tanam paksa dimana mereka hanya menanam saja, untuk mernjual tanaman yang mereka tanam tentu saja mengalami kesulitan, sehingga mereka kemudian menyerahkan urusan menjual hasil pertanian kepada para kepala-kepala desa untuk menjualnya di pasar bebas. Tentu saja hal ini berakibat pada banyaknya korupsi dan penyelewengan yang dilakukan oleh para kepala desa tersebut.


C. TANAMAN DAN SISTEM PERDAGANGAN
Pada sistem sewa tanah, petani diberi kebebasan untuk menanam apapun yang mereka kehendaki. Namun gantinya rakyat mulai dibebani dengan sistem pajak. Kebebasan untuk menanam tanaman tersebut tidak dapat dilaksanakan di semua daerah di pulau Jawa. Daerah-daerah milik swasta atau tanah partikelir dan daerah Parahyangan masih menggunakan sistem tanam wajib. Pelaksanaannya di Parahyangan, Inggris enggan untuk mengganti penanaman kopi karena merupakan sumber keuntungan bagi kas negara.

tanaman kopi
Gambar: Tanaman Kopi


Walaupun demikian pada sistem sewa tanah tanaman kopi mengalami penurunan hasil. Selain kopi, tanaman tebu juga mengalami kemunduran yang sama, sehingga pada sistem sewa tanah pemerintah hanya mampu mengekspor kopi dan beras dalam jumlah yang terbatas. Penurunan hasil-hasil tanaman ini dikarenakan petani Indonesia tidak begitu mengenal tanaman ekspor.

tanaman tebu
Gambar: Tanaman Tebu


Dalam sistem sewa tanah, rakyat selain diberikan kebebasan untuk menanam, mereka juga diberi kebebasan untuk melakukan perdagangan atau menjual tanaman mereka sendiri di pasaran bebas. Sistem perdagangan ini tidak efektif karena penjualan sering diserahkan rakyat kepada kepala desa mereka. Penyerahan penjualan kepada kepala desa dikarenakan kurang pengalamannya petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasaran bebas. hal ini mengakibatkan kepala-kepala desa sering melakukan penipuan terhadap petani maupun pembeli, sehingga membuat pemerintah terpaksa ikut campur tangan dengan mengadakan penanaman paksa bagi tanaman perdagangan.


D. KEGAGALAN SISTEM SEWA TANAH
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilakukan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles pada sistem pertanahan di Indonesia menemui beberapa kegagalan. Sistem sewa tanah yang diberlakukan ternyata memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan milik penduduk pribumi di Indonesia. Sistem sewa tanah tersebut tidak berjalan lama, hal itu di sebabkan beberapa faktor dan mendorong sistem tersebut untuk tumbang kemudian gagal dalam peranannya mengembangkan kejayaan kolonisasi Inggris di Indonesia. Beberapa faktor kegagalan sistem sewa tanah antara lain ialah:
  1. Keuangan negara yang terbatas, memberikan dampak pada minimnya pengembangan pertanian.
  2. Pegawai-pegawai negara yang cakap jumlahnya cukup sedikit, selain karena hanya diduduki oleh para kalangan pemerinah Inggris sendiri, pegawai yang jumlahnya sedikit tersebut kurang berpengalaman dalam mengelola sistem sewa tanah tersebut.
  3. Masyarakat Indonesia pada masa itu belum mengenal perdagangan eksport seperti India yang pernah mengalami sistem sewa tanah dari penjajahan Inggris. Dimana pada abad ke-9, masyarakat Jawa masih mengenal sistem pertanian sederhana, dan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sehingga penerapan sistem sewa tanah sulit diberlakukan karena motifasi masyarakat untuk meningkatkan produksifitas pertaniannya dalam penjualan ke pasar bebas belum disadari betul.
  4. Masyarakat Indonesia terutama di desa masih terikat dengan feodalisme dan belum mengenal ekonomi uang, sehingga motifasi masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari produksifitas hasil pertanian belum disadari betul.
  5. Pajak tanah yang terlalu tinggi, sehingga banyak tanah yang terlantar tidak di garap, dan dapat menurunkan produksifitas hasil pertanian.
  6. Adanya pegawai yang bertindak sewenang-wenang dan korup.
  7. Singkatnya masa jabatan Raffles yang hanya bertahan lima tahun, sehingga ia belum sempat memperbaiki kelemahan dan penyimpangan dalam sistem sewa tanah.

Secara garis besar kegagalan Raffles dalam sistem sewa tanah di Jawa terkendala akan susunan kebiasaan masyarakat Indonesia sendiri. Dimana Raffles memberlakukan sistem yang sama antara India yang lebih maju dalam perekonomiannya pada Indonesia yang masa itu masi cukup sederhana dimana sifat ekonomi desa di Jawa yang bersifat self suffcient.


Description: sistem sewa tanah masa raffles, sistem sewa tanah masa kolonial, sewa tanah raffles

Kedatangan Bangsa Portugis ke Indonesia

Kedatangan orang-orang Eropa pertama di kawasan Asia Tenggara pada awal abad XVI kadang-kadang dipandang sebagai titik penentu yang paling penting dalam sejarah kawasan ini. Pada abad XV bangsa Portugis merupakan salah satu bangsa yang mencapai kemajuan-kemajuan di bidang teknologi. Bangsa Portugis telah dapat membuat kapal-kapal yang lebih layak dan canggih di bandingkan dengan kapal-kapal sebelumnya memungkinkan mereka melakukan sebuah pelayaran dan melebarkan kekuasaaan ke seberang lautan. Dengan alasan untuk menguasai impor rempah-rempah di kawasan Eropa, bangsa Portugis mencari daerah kawasan penghasil rempah-rempah terbaik. Rempah-rempah di kawasan Eropa merupakan kebutuhan dan juga cita rasa. Selama musim dingin di Eropa, tidak ada salah satu cara pun yang dapat di jalankan untuk mempertahankan agar semua hewan-hewan ternak dapat tetap hidup. Kerena itu banyak hewan ternak yang disembelih dan dagingnya kemudian harus di awetkan. Untuk itulah diperlukan sekali banyak garam dan rempah-rempah.

Cengkih dari Indonesia Timur adalah yang paling berharga. Indonesia juga menghasilkan lada, buah pala, dan bunga pala. Kekayaan alam Indonesia yang begitu melimpah termasuk dalam tanaman rempah-rempah menjadi alasan Portugis ingin menguasai daerah Indonesia sekaligus menguasai pasaran Eropa.


A. AWAL PROSES KEDATANGAN BANGSA PORTUGIS KE INDONESIA
Tahun 1487, Bartolomeus Dias mengitari Tanjung Harapan dan memasuki perairan Samudra Hindia. Selanjutnya pada tahun 1498, Vasco da Gama sampai di India. Namun, orang-orang Portugis ini segera mengetahui bahwa barang-barang dagangan yang hendak mereka jual tidak dapat bersaing di pasaran India yang canggih dengan barang-barang yang mengalir melalui jaringan perdagangan Asia. Karena itu, mereka sadar harus melakukan peperangan di laut untuk mengukuhkan diri.

bartolomeus diaz
Gambar: Bartolomeus Diaz


Alfonso de Albuquerque merupakan panglima angkatan laut terbesar pada masa itu. Pada tahun 1503 Albuquerque berangkat menuju India, dan pada tahun 1510, dia menaklukan Goa di Pantai Barat yang kemudian menjadi pangkalan tetap Portugis. Pada waktu itu telah dibangun pangkalan-pangkalan di tempat-tempat yang agak ke barat, yaitu di Ormuzdan Sokotra. Rencananya ialah untuk mendominasi perdagangan laut di Asia dengan cara membangun pangkalan tetap di tempat-tempat krusial yang dapat digunakan untuk mengarahkan teknologi militer Portugis yang tinggi. Pada tahun 1510, setelah mengalami banyak pertempuran, penderitaan, dan kekacauan internal, tampaknya Portugis hampir mencapai tujuannya. Sasaran yang paling penting adalah menyerang ujung timur perdagangan Asia di Maluku.

vasco da gama
Gambar: Vasco da Gama


Setelah mendengar laporan-laporan pertama dari para pedagang Asia mengenai kekayaan Malaka yang sangat besar, Raja Portugis mengutus Diogo Lopez de Sequiera untuk menekan Malaka, menjalin hubungan persahabatan dengan penguasanya, dan menetap disana sebagai wakil Portugis di sebelah timur India. Tugas Sequiera tersebut tidak mungkin terlaksana seluruhnya saat dia tiba di Maluku pada tahun 1509. Pada mulanya dia disambut dengan baik oleh Sultan Mahmud Syah (1488-1528), tetapi kemudian komunitas dagang internasional yang ada di kota itu meyakinkan Mahmud bahwa Portugis merupakan ancaman besar baginya. Akhirnya, Sultan Mahmud melawan Sequiera, menawan beberapa orang anak buahnya, dan membunuh beberapa yang lain. Ia juga mencoba menyerang empat kapal Portugis, tetapi keempat kapal tersebut berhasil berlayar ke laut lepas. Seperti yang telah terjadi di tempat-tempat yang lebih ke barat, tampak jelas bahwa penaklukan adalah satu-satunya cara yang tersedia bagi Portugis untuk memperkokoh diri.

alfonso de albuquerque
Gambar: Alfonso de Albuquerque


Pada bulan April 1511, Albuquerque melakukan pelayaran dari Goa menuju Malaka dengan kekuatan kira-kira 1200 orang dan 17 buah kapal. Peperangan pecah segera setelah kedatangannya dan berlangsung terus secara sporadis sepanjang bulan Juli hingga awal Agustus. Pihak Malaka terhambat oleh pertikaian antara Sultan Mahmud dan putranya, Sultan Ahmad yang baru saja diserahi kekuasaan atas negara namun dibunuh atas perintah ayahnya.

Malaka akhirnya berhasil ditaklukan oleh Portugis. Albuquerque menetap di Malaka sampai bulan November 1511, dan selama itu dia mempersiapkan pertahanan Malaka untuk menahan setiap serangan balasan orang-orang Melayu. Dia juga memerintahkan kapal-kapal yang pertama untuk mencari Kepulauan Rempah. Sesudah itu dia berangkat ke India dengan kapal besar, dia berhasil meloloskan diri ketika kapal itu karam di lepas pantai Sumatera beserta semua barang rampasan yang dijarah di Malaka.

Setelah satu kapal layar lagi tenggelam, sisa armada itu tiba di Ternate pada tahun itu juga. Dengan susah payah, ekspedisi pertama itu tiba di Ternate dan berhasil mengadakan hubungan dengan Sultan Aby Lais. Sultan Ternate itu berjanji akan menyediakan cengkeh bagi Portugis setiap tahun dengan syarat dibangunnya sebuah benteng di pulau Ternate.

Hubungan dagang yang tetap dirintis oleh Antonio de Abrito. Hubungannya dengan Sultan Ternate yang masih anak-anak, Kacili Abu Hayat, dan pengasuhnya yaitu Kacili Darwis berlangsung sangat baik. Pihak Ternate tanpa ragu mengizinkan De Brito membangun benteng pertama Portugis di Pulau Ternate (Sao Joao Bautista atau Nossa Seighora de Rossario) pada tahun 1522. Penduduk Ternate menggunakan istilah Kastela untuk benteng itu, bahkan kemudian benteng itu lebih dikenal dengan nama benteng Gamalama. Sejak tahun 1522 hingga tahun 1570 terjalin suatu hubungan dagang (cengkih) antara Portugis dan Ternate.

Portugis yang sedang menguasai Malaka, terbukti bahwa mereka tidak menguasai perdagangan Asia yang berpusat disana. Portugis tidak pernah dapat mencukupi kebutuhannya sendiri dan sangat tergantung kepada para pemasok bahan makanan dari Asia seperti halnya para penguasa Melayu sebelum mereka di Malaka. Mereka kekurangan dana dan sumber daya manusia. Organisasi mereka ditandai dengan perintah-perintah yang saling tumpang tindih dan membingungkan, ketidakefisienan, dan korupsi. Bahkan gubernur-gubernur mereka di Malaka turut berdagang demi keuntungan pribadi di pelabuhan Malaya, Johor, pajak dan harga barang-barangnya lebih rendah, dan hal tersebut telah merusak monopoli yang seharusnya mereka jaga. Para pedagang Asia mengalihkan sebagian besar perdagangan mereka ke pelabuhan-pelabuhan lain dan menghindari monopoli Portugis yang mudah.


peta selat malaka
Gambar: Selat Malaka


Begitu cepat Portugis tidak lagi menjadi suatu kekuatan yang revolusioner. Keunggulan teknologi mereka yang terdiri atas teknik-teknik pelayaran dan militer berhasil dipelajari dengan cepat oleh saingan-saingan mereka dari Indonesia. Seperti meriam Portugis yang dengan cepat berhasil direbut oleh orang-orang Indonesia. Portugis menjadi suatu bagian dari jaringan konflik di selat Malaka, dimana Johor dan Aceh berlomba-lomba untuk saling mengalahkan Portugis agar bisa menguasai Malaka.

Kota Malaka mulai sekarat sebagai pelabuhan dagang selama berada dibawah cengkeraman Portugis. Mereka tidak pernah berhasil memonopoli perdagangan Asia. Portugis hanya mempunyai sedikit pengaruh terhadap kebudayaan orang-orang Indonesia yang tinggal di nusantara bagian barat, dan segera menjadi bagian yang aneh di dalam lingkungan Indonesia. Portugis telah mengacaukan secara mendasar organisasi sistem perdagangan Asia. Tidak ada lagi satu pelabuhan pusat dimana kekayaan Asia dapat saling dipertukarkan, tidak ada lagi negara Malaya yang menjaga ketertiban selat Malaka dan membuatnya aman bagi lalu lintas perdagangan. Sebaliknya komunitas dagang telah menyebar ke beberapa pelabuhan dan pertempuran sengit meletus di Selat.

Segera setelah Malaka ditaklukan, dikirimlah misi penyelidikan yang pertama ke arah timur dibawah pimpinan Francisco Serrao. Pada tahun 1512, kapalnya mengalami kerusakan, tetapi dia berhasil mencapai Hitu (Ambon sebelah utara). Disana dia mempertunjukkan keterampilan perang melawan suatu pasukan penyerang yang membuat dirinya disukai oleh penguasa setempat. Hal ini mendorong kedua penguasa setempat yang bersaing (Ternate dan Tidore) untuk menjajaki kemungkinan memperoleh bantuan Portugis. Portugis disambut baik di daerah itu karena mereka juga dapat membawa bahan pangan dan membeli rempah-rempah. Akan tetapi perdagangan Asia segera bangkit kembali, sehingga Portugis tidak pernah dapat melakukan suatu monopoli yang efektif dalam perdagangan rempah-rempah.

Sultan Ternate, Abu Lais (1522) membujuk orang Portugis untuk mendukungnya dan pada tahun 1522, mereka mulai membangun sebuah benteng disana. Sultan Mansur dari Tidore mengambil keuntungan dari kedatangan sisa-sisa ekspedisi pelayaran keliling dunia Magellan di tahun 1521 untuk membentuk suatu persekutuan dengan bangsa Spanyol yang tidak memberikan banyak hasil dalam periode ini.

Hubungan Ternate dan Portugis berubah menjadi tegang karena upaya yang lemah Portugis melakukan kristenisasi dan karena perilaku orang-orang Portugis yang tidak sopan. Pada tahun 1535, orang-orang Portugis di Ternate menurunkan Raja Tabariji (1523-1535) dari singgasananya dan mengirimnya ke Goa yang dikuasai Portugis. Disana dia masuk Kristen dan memakai nama Dom Manuel, dan setelah dinyatakan tidak terbukti melakukan hal-hal yang dituduhkan kepadanya, dia dikirim kembali ke Ternate untuk menduduki singgasananya lagi. Akan tetapi dalam perjalanannya dia wafat di Malaka pada tahun 1545. Namun sebelum wafat, dia menyerahkan Pulau Ambon kepada orang Portugis yang menjadi ayah baptisnya, Jordao de Freitas.

Akhirnya orang-orang Portugis yang membunuh Sultan Ternate, Hairun (1535-1570) pada tahun 1570, diusir dari Ternate pada tahun 1575 setelah terjadi pengepungan selama 5 tahun. Mereka kemudian pindah ke Tidore dan membangun benteng baru pada tahun 1578. Akan tetapi Ambon-lah yang kemudian menjadi pusat utama kegiatan-kegiatan Portugis di Maluku sesudah itu. Ternate sementara itu menjadi sebuah negara yang gigih menganut Islam dan anti Portugis dibawah pemerintahan Sultan Baabullah (1570-1583) dan putranya Sultan Said ad-Din Berkat Syah (1584-1606).

Pada waktu itu juga Portugis terlibat perang di Solor. Pada tahun 1562, para pendeta Dominik membangun benteng dari batang kelapa disana. Pada tahun berikutnnya dibakar para penyerang beragama Islam dari Jawa. Namun orang-orang Dominik tetap bertahan dan segera membangun ulang benteng dari bahan yang lebih kuat dan mulai melakukan kristenisasi pada penduduk lokal.

Pada tahun sesudahnya, muncul serangan-serangan dari Jawa. Masyarakat Solor sendiri pun tidak secara keseluruhan senang terhadap orang-orang Portugis dan agama mereka, sehingga seringkali muncul perlawanan. Pada tahun 1598-1599, pemberontakan besar-besaran dari orang Solor memaksa pihak Portugis mengirimkan sebuah armada yang terdiri dari 90 kapal untuk menundukkan para pemberontak itu. Namun Portugis tetap menduduki benteng-benteng mereka di Solor sampai diusir oleh Belanda pada tahun 1613 dan setelah itu Portugis melakukan pendudukan kembali pada tahun 1636.

Diantara para petualang Portugis tersebut ada seorang Eropa yang tugasnya memprakarsai suatu perubahan yang tetap di Indonesia Timur. Orang ini bernama Francis Xavier (1506-1552) dan Santo Ignaius Loyola yang mendirikan orde Jesuit. Pada tahun 1546-1547, Xavier bekerja di tengah-tengah orang Ambon, Ternate, dan Moro untuk meletakkan dasar-dasar bagi suatu misi yang tetap disana. Pada tahun 1560-an terdapat sekitar 10.000 orang katolik di wilayah itu dan pada tahun 1590-an terdapat 50.000-an orang. Orang-orang Dominik juga cukup sukses mengkristenkan Solor. Pada tahun 1590-an orang-orang Portugis dan penduduk lokal yang beragama Kristen di sana diperkirakan mencapai 25.000 orang.


B. PENGARUH BANGSA PORTUGIS DI INDONESIA
Selama berada di Maluku, orang-orang Portugis meninggalkan beberapa pengaruh kebudayaan mereka seperti balada-balada keroncong romantis yang dinyanyikan dengan iringan gitar berasal dari kebudayaan Portugis. Kosa kata Bahasa Indonesia juga ada yang berasal dari bahasa Portugis yaitu pesta, sabun, bendera, meja, Minggu, dll. Hal ini mencerminkan peranan bahasa Portugis disamping bahasa Melayu sebagai lingua franca di seluruh pelosok nusantara sampai awal abad XIX. Bahkan di Ambon masih banyak ditemukan nama-nama keluarga yang berasal dari Portugis seperti da Costa, Dias, de Fretas, Gonsalves, Mendoza, Rodriguez, da Silva, dll. Pengaruh besar lain dari orang-orang Portugis di Indonesia yaitu penanaman agama Katolik di beberapa daerah timur di Indonesia.


Description: kedatangan bangsa portugis ke indonesia, bangsa portugis ke indonesia, awal kedatangan bangsa portugis

Sejarah VOC di Indonesia

Akhir abad ke-16 bangsa Belanda berhadil memperoleh peta-peta informasi ke Timur dari bangsa Italia (Venesia) yang banyak berjasa membuat peta ke Timur yang kemudian digunakan oleh bangsa Portugis. Semenjak itu bangsa Belanda mulai melakukan perjalanan laut ke arah Timur (Asia). Tahun 1595 kapal-kapal niaga Belanda mulai berdagang di daerah Banten dan Sunda Kelapa di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Karena ketidaksopanan Cornelis de Houtman dalam menjalin hubungan dengan penduduk Banten, maka penduduk Banten mengusirnya dari Banten. Tahun 1598 pedagang Belanda datang kembali ke Indonesia di bawah pimimpinan Jacob Van Neck mendarat di Banten. Banyaknya kapal-kapal yang berdagang di wilayah itu pada awalnya menghasilkan keuntungan-keuntungan besar bagi bangsa Belanda, namun pada perkembangan selanjutnya banyak terjadi persaingan yang terjadi antara perusahaan-perusahaan pelayaran hingga menyebabkan kemerosotan keuntungan. Meskipun terjadi kemerosotan keuntungan dalam perdagangannya, Belanda akhirnya dapat menanamkan kekuasaan perdagangan di Indonesia. Akhirnya Pangeran Maurits sebagai raja Belanda memberikan izin kepada Johan van Olden Barnevelt menganjurkan untuk penggabungan semua kongsi dagang itu menjadi sebuah perusahaan dagang besar yang dinamakan Verenigde Oost-indische Compagnie (VOC).

A. AWAL BERDIRINYA VOC
Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Persekutuan Dagang Hindia Timur didirikan pada 20 Maret 1602. VOC merupakan gabungan beberapa perusahaan Belanda yang dulunya saling bersaing satu sama lain. Dalam rangka menghentikan persaingan tersebut, empat wilayah di negeri Belanda yaitu Amsterdam, Zeeland, de Maas, dan Noord Holland bergabung dan didirikanlah perusahaan VOC. Pendirian VOC dilengkapi dengan akta Oktroi dari Staaten Generaal (Parlemen Belanda). Akta Oktroi ini yang mendasari VOC mempunyai hak dagang terbentang dari Tanjung Harapan sampai Selat Magellan, termasuk pulau-pulau di selatan Pasifik, kepulauan Jepang, Sri Lanka dan Cina Selatan. Berikut merupakan hak-hak istimewa (hak Oktroi) yang diberikan kepada VOC oleh pemerintah Belanda, diantaranya adalah VOC berhak memonopoli perdagangan, mencetak uang, mengangkat dan memperhentikan pegawai, mengadakan perjanjian dengan raja-raja, memiliki tentara untuk mempertahankan diri dan juga membentuk angkatan perang, mendirikan benteng, menyatakan perang dan damai, mengangkat dan memberhentikan penguasa-penguasa setempat, wewenang untuk membuat undang-undang dan peraturan, serta membentuk pengadilan (Raad van Justitie) dan mahkamah agung (Hoog Gerechtshof).

voc
Gambar: Verenigde Oost-indische Compagnie (VOC)



B. GUBERNUR JENDRAL VOC
Tahun 1610 VOC menunjuk Pieter Both sebagai Gubernur Jendral VOC beserta sejumlah gubernur wilayah. Hal ini dilakaukan untuk memudahkan koordinasi dalam wilayah yang luas. Both merupakan Gubernur Jenderal VOC pertama yang memerintah tahun 1610-1614 di Ambon, Maluku. Jan Pieterzoon Coen yang menjabat 1619-1629 memindahkan pusat VOC dari Ambon ke Jayakarta (Batavia). Karena letaknya strategis di tengah-tengah Nusantara memudahkan pelayaran ke Belanda. Sejak 1620, tempat kedudukan gubernur jendral VOC dipindahkan dari Ternate ke Batavia. Kemudian Maluku dipimpin oleh seorang gubernur jendral yang berkedudukan di Ternate sebagai markas besar VOC sebelumnya. Gubernur jendral Ternate tersebut adalah Frederik de Houtman (1621-1623). Antonio Van Diemen (1636-1645), Joan Maetsycker (1653-1678), Cornelis Speeldman (1681-1684).

pieter both
Gambar: Pieter Both




C. KEGIATAN PERDAGANGAN VOC DI INDONESIA
Setelah berpusat di Batavia, VOC melakukan perluasan kekuasaan dengan pendekatan serta campur tangan terhadap kerajaan-kerajaan di Indonesia antara lain Ternate, Mataram, Banten, Banjar, Sumatra, Gowa serta Maluku. Perluasan kekuasaan Belanda ke daerah-daerah luar Jawa benar-benar berbeda dengan perluasan kekuasaannya di Jawa, karena di sebagian besar daerah luar Jawa tidak pernah ada alasan yang permanen atau sungguh-sungguh untuk menguasai oleh pihak Belanda. Akibat hak monopoli yang dimilikinya, VOC memaksakan kehendaknya sehingga menimbulkan permusuhan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Untuk menghadapi perlawanan bangsa Indonesia VOC meningkatkan kekuatan militernya serta membangun benteng-benteng seperti di Ambon, Makasar, Jayakarta dan lain-lain. VOC dapat memperoleh monopoli perdagangan Indonesia karena melakukan beberapa hal diantaranya adalah melakukan pelayaran hongi untuk memberantas penyelundupan. Tindakan yang dilakukan VOC adalah merampas setiap kapal penduduk yang menjual langsung rempah-rempah kepada pedagang asing seperti Inggris, Perancis dan Denmark. Hal ini banyak dijumpai di pelabuhan bebas Makasar. Melakukan Ekstirpasi, yaitu penebangan tanaman milik rakyat. Tujuannya adalah mepertahankan agar harga rempah-rempah tidak merosot bila hasil panen berlebihan. Melakukan sistem Verplichte Leverantien, merupakan perjanjian dengan raja-raja setempat terutama yang kalah perang wajib menyerahkan hasil bumi yang dibutuhkan VOC dengan harga yang ditetapkan VOC. Kemudian VOC menerapkan sistem Contingenten yang berarti rakyat wajib menyerahkan hasil bumi sebagai pajak.

mata uang voc
Gambar: Mata Uang VOC



D. RUNTUHNYA VOC
Kemunduran dan kebangkrutan VOC terjadi sejak awal abad ke-18 disebabkan oleh banyaknya korupsi yang dilakukan oleh pegawai-pegawai VOC, anggaran pegawai terlalu besar sebagai akibat makin luasnya wilayah kekuasaan VOC, biaya perang untuk memadamkan perlawanan rakyat terlalu besar, persaingan dengan kongsi dagang negara lain, misalnya dengan EIC milik Inggris, hutang VOC yang sangat besar, pemberian deviden kepada pemegang saham walaupun usahanya mengalami kemunduran, berkembangnya faham Liberalisme sehingga monopoli perdagangan yang diterapkan VOC tidak sesuai lagi untuk diteruskan, pendudukan Perancis terhadap negara Belanda pada tahun 1795. Akhir Desember 1799, Pemerintah Belanda memutuskan tidak memperpanjang lagi hak oktroi VOC yang berakhir 31 Desember 1799. Sehingga sejak 1 Januari 1800, VOC dibubarkan secara resmi. Seluruh aktiva dan pasivanya beserta daerah kekuasaan dan juga pemerintahan di daerah-daerah jajahan diambil alih pemerintah belanda. Semenjak itulah riwayat perusahaan dagang terbesar yang hampir 200 tahun berkuasa di Nusantara itu berakhir.


Description: sejarah voc di Indonesia, voc,verenigde oost-indische compagnie